Oleh. Hessy Elviyah, S.S.
CemerlangMedia.Com — Kontroversi pernyataan bahwa L987 adalah kodrat terus bergulir di tengah-tengah masyarakat. Pernyataan ini awalnya dituding sebagai pernyataan Mahfud MD, namun beliau membantah dengan menyebutkan bahwa pernyataan tersebut berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat.
Lebih lanjut Mahfud MD mengklarifikasi bahwa adanya pernyataan tersebut lantaran larangan L987 tidak dimasukkan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini dikarenakan DPR menganggap L987 sebagai kodrat tuhan, sehingga tidak boleh ada larangan terhadap pelaku L987 (news.republika.co.id, 23-6-2023).
Terlepas dari siapa yang memiliki argumentasi yang menyebutkan bahwa L987 adalah kodrat tuhan, perlu sekali untuk diluruskan bahwa L987 merupakan tindakan terlaknat yang perlu diberikan tindakan tegas. Karena perbuatan itu jelas sebuah penyimpangan yang berdampak buruk bagi kesehatan, mental, dan sosial.
Bantahan ilmiah bahwa L987 adalah kodrat yang disebut-sebut bawaan dari genetik yaitu ‘gen gay’ berasal dari studi penelitian dan diterbitkan oleh Science Magazine. Penelitian itu menyebutkan bahwa tidak ada istilah ‘gen gay’. Orientasi seksual tidak bisa diprediksi melalui satu jenis gen saja, akan tetapi dipengaruhi oleh banyak faktor genetik dan lingkungan (cnn.indonesia, 3-9-2019).
Lebih jauh dari segi kesehatan. Seorang dokter spesialis kulit dan kelamin, dr. Dewi Inong Irana menjelaskan bahwa kaum gay berpotensi 60 kali lebih tinggi tertular HIV-AIDS. Selain itu penyakit yang tidak kalah berbahayanya mengintai kaum pelangi ini adalah sarkoma kaposi. Menurut dr. Inong, penyakit ini belum ada penawarnya. Sarkoma kaposi adalah penyakit kanker yang menyebabkan sebagian kecil jaringan tidak normal tumbuh di bawah kulit, di seluruh hidung, mulut, dan juga tenggorokan atau di dalam organ tubuh yang lainnya (republika.co.id, 22-1-2018).
Berbagai edukasi tentang dampak buruk aktivitas kaum sodom dipaparkan, tetapi tidak membuat mereka jera. Sebaliknya, kegiatan mereka semakin menjadi dan dilakukan secara terang benderang dengan dukungan berbagai pihak. Misalnya, adanya bendera yang merupakan simbol kaum pelangi berkibar di tengah keramaian aksi penyampaian pendapat di Monas, pada hari Sabtu 20 Mei 2023 lalu. Walaupun menurut pihak kepolisian, berkibarnya bendera tersebut tidak mendapatkan izin (republika.co.id, 25-5-2023).
Keberanian mereka untuk tampil di publik bukan tanpa alasan, yakni untuk menuai simpati beberapa kalangan masyarakat, semua itu mereka lakukan tanpa sungkan. Bahkan, eksistensi mereka mendapatkan dukungan mulai dari masyarakat biasa sampai akademisi, publik figur, pejabat pemerintahan, dan berbagai sosial media. Negara yang berketuhanan yang maha esa ini tidak berdaya dengan kekuatan kaum pelangi karena support pun datang dari organisasi besar dunia.
Dukungan penuh dari organisasi terbesar, yaitu Perserikatan Bangsa Bangsa dengan mengucurkan dana melalui United Nations Development Programme (UNDP) sebesar US$ 8 juta (sekitar Rp 108 miliar). Dana tersebut ditujukan untuk kesejahteraan kaum pelangi. Mirisnya, Indonesia termasuk negara yang dibagikan bersama dengan Cina, Filiphina, dan Thailand (detiknews.com, 16-2-2016).
Melihat fakta di atas haruslah disadari bahwa keberadaan kaum sodom bukan sekadar sebuah kelompok biasa, tetapi terorganisir secara politis, terstruktur, dibela serta diperjuangkan eksistensinya. Upaya yang dilakukan mereka untuk diterima di masyarakat terus digulirkan, dengan berlindung di balik kebebasan dan hak asasi manusia. Kedua dalih inilah yang digunakan untuk membenarkan kerusakan mereka.
Kedua dalih tersebut tumbuh subur di sistem liberal saat ini. Tercatat dari republika.id, fenomena L687 dari dekade 60 an berkembang, pada dekade 80 an semakin berkembang pesat, di dekade 90 an kemudian meledak hingga era millenium sampai saat ini.
Kampanye pun semakin masif, kaum sodom ini membangun narasi besar dengan menyebut aktivitas laknat tersebut sebagai given dari tuhan, tidak menggangu orang lain, dan berdalih bisa tetap produktif bekerja.
Jika kampanye masif ini terus dibiarkan tanpa adanya upaya hukum untuk menghentikannya, maka akan banyak sekali dampak buruknya. Di antaranya adalah akan meracuni masyarakat yang religius, bahkan nantinya akan mengubah pola masyarakat yang destruktif. Bukan mustahil ketika L987 ini mulai dijajakan oleh kaum selebritas negeri, generasi kita akan menganggap aktivitas laknat ini sebagai sebuah tren yang harus diikuti, mengingat fenomena latah terhadap suatu tren menjadi sebuah kebiasaan dalam pergaulan.
Ironis, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam kini dihadapkan pada persoalan yakni di dalam kitab suci diceritakan azab pedih terhadap perbuatan L987. Islam meniscayakan hukuman berat bagi pelaku kaum sodom tersebut. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang memerintahkan untuk membunuh pelaku laknat ini
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth maka bunuhlah kedua pelakunya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Sebagaimana jejak sejarah Islam, Khalid bin Walid diriwayatkan pernah menemukan pelaku homoseksual kemudian mengeksekusi mati pelaku tersebut. Menurut riwayat al-Ajurri, al-Baihaqi, dan Ibnu Hazm, pelaku tersebut dibakar setelah Khalid bin Walid mendapat perintah dari Abu Bakar as Siddiq selaku kepala negara.
Maka dari itu, fenomena L987 yang terstruktur dan sistematis ini hanya bisa dituntaskan dengan cara hidup yang sempurna, yaitu dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Islam mempunyai seperangkat peraturan yang komprehensif dan mempunyai sangsi yang tegas terhadap perilaku laknat tersebut. Sangsi yang membuat jera pelakunya. Waallahua’lam. [CM/NA]