Oleh. Yuliani Zamiyrun, S.E.
(Kontributor CemerlangMedia.Com dan Pegiat Literasi)
CemerlangMedia.Com — Korupsi, hampir setiap masa panggung para pejabat diwarnai oleh kasus korupsi. Terbukti hampir semua kasus korupsi yang muncul di hadapan publik adalah dari kalangan pejabat. Di mana modus korupsi yang paling sering dilakukan pejabat adalah penjualan perizinan, menerima suap, atau gratifikasi pada pengadaan barang dan jasa, pengisian jabatan pegawai daerah, hingga korupsi anggaran.
Sebagaimana dilansir dari tirto.id, Pegiat antikorupsi dari PUKAT UGM Zaenur Rohman menilai aksi korupsi yang dilakukan Bupati Kapuas, Kalimatan Tengah, Ben Brahim S Bahat dan anggota DPR RI Fraksi Nasdem Ary Egahni Ben Bahat bukanlah modus baru. Zaenur menilai, modus yang dilakukan pasangan suami istri itu kerap dilakukan pejabat lain dengan menyalahgunakan wewenangnya.
“Ini modus lama politisi di daerah, menggunakan kewenangannya sebagai pejabat publik, sebagai kepala daerah untuk mengumpulkan dana politik dengan korupsi ya,” kata Zaenur kepada tirto, Rabu (29/3/2023).
Juga dilansir dari KOMPAS.com, Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Arsul Sani mengatakan, pihaknya menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana, Sabtu (1/4/2023).
Menurut Arsul, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana diperlukan agar proses-proses pengembalian kerugian negara bisa maksimal, lebih baik, dan lebih cepat. Pasalnya, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tidak hanya terkait dengan tindak pidana korupsi (tipikor) saja, tetapi bisa juga dimanfaatkan untuk mengembalikan kerugian negara dalam tindak kriminal lainnya. Tindak kriminal yang dimaksud, yaitu tindak pidana narkotika, pajak, kepabeanan dan cukai, lingkungan hidup, illegal logging, hingga terorisme.
Sebagaimana diketahui, kasus korupsi kembali ditemukan. Baik dilakukan oleh pejabat, anggota dewan atau ASN, bahkan dilakukan secara berjamaah. Pembahasan tentang RUU perampasan aset tindak pidana pun ramai dibicarakan, namun hingga kini belum ada kejelasan. Padahal Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003, dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006.
Melihat gurita kasus korupsi, dan kuatnya sekularisme merasuki negara ini, muncul pertanyaan apakah pengesahan RUU perampasan aset mampu mencegah korupsi? Sedangkan negeri ini telah menghadapi banyak kasus korupsi setiap tahun.
Tak hanya itu, kita pun harus banyak berkaca pada kasus-kasus sebelumnya terkait penanganan yang telah diberikan terhadap pelaku korupsi. Hampir sama sekali tidak mampu memberikan hasil yang maksimal dalam memberantas kasus korupsi. Bahkan terkesan semakin menyuburkan pelaku-pelaku korupsi lainnya di kalangan pejabat.
Hal ini tentu didasari oleh sistem yang tidak tepat. Sistem yang tidak memiliki ketegasan dalam menyelesaikan satu masalah. Kenapa? Sebab, penetapan UU bagi pelaku tindak pidana korupsi ini selalu berubah. Dari tahun ke tahun selalu ada revisi UU, yang hasilnya pun tetap sama, korupsi tetap ada bahkan semakin menggila di kalangan elit politik.
Lalu bagaimana mungkin sebagai seorang muslim harus berada dalam lingkaran kasus korupsi yang terus mengancam negeri ini? Masihkan berharap pada sistem yang membuka keran korupsi, tanpa upaya yang sungguh-sungguh dalam memberantasnya? Padahal Allah Swt. telah menyampaikan dalam kitab Al-Qur’an yang mulia, yang artinya: “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (TQS. al-Maidah: 50).
Maka, sistem yang diterapkan saat ini yaitu demokrasi tentu sangat berbeda dengan sistem Islam yang memiliki berbagai mekanisme efektif untuk mencegah korupsi. Mulai dari penanaman akidah yang kuat hingga sistem sanksi yang tegas. Dalam hal penanaman akidah, setiap individu muslim akan menyadari bahwa setiap perbuatan akan ada konsekuensinya. Baik kesadaran akan pahala dan dosa, hisab dan siksa, surga maupun neraka.
Dari sini, seorang muslim tidak akan berani melakukan penyelewengan dalam hal melaksanakan amanah yang sudah diberikan padanya. Karena sudah didasari oleh keimanan akan hukum-hukum Allah Swt.. Ia akan tetap terjaga, meski tawaran dunia menggoda imannya. Sebab kesadarannya akan segala konsekuensi perbuatannya akan menentukan nasibnya di yaumil hisab nanti.
Tidak hanya itu, sistem Islam juga memiliki ketegasan dalam hal memberikan sanksi kepada pelaku tindak pidana korupsi, yaitu dengan diterapkannya sistem sanksi yang dapat menjadi penebus sekaligus pencegah bagi pelakunya di hari kiamat.
Oleh karena itu, sebagai muslim hendaknya kita tidak berdiam diri pada hukum-hukum manusia yang sama sekali tidak mampu menyelesaikan persoalan manusia seperti hari ini. Maka, sejatinya sebagai seorang muslim hanya mengambil hukum-hukum Allah sebagai satu-satunya hukum yang benar lagi adil yang harus dan segera diterapkan di bumi-Nya. Wallahu a’lam bishawab. [CM/NA]