Oleh: Yuli Ummu Raihan
(Penulis dan Aktivis Muslimah Tangerang)
CemerlangMedia.Com — Siapa yang tidak ingin hidup bergelimang harta, kaya raya, bisa beli apa saja, jalan-jalan ke mana saja dan menikmati semua kenikmatan dunia. Seperti ungkapan yang masyhur di tengah masyarakat “muda foya-foya, hidup kaya raya, mati masuk surga”. Terdengar indah, tetapi tidak begitu kenyataannya. Saat ini muncul paradigma di kalangan anak muda, ingin kaya dengan cara instan, tetapi tidak mempertimbangkan risiko yang akan dihadapi atau istilah kekiniannya “the casino mentality“.
Perkembangan teknologi informasi khususnya media sosial memberikan pengaruh sehingga banyak anak muda yang ingin cepat kaya tanpa perlu usaha. Iming-iming kemudahan lewat pinjaman online (pinjol) dan investasi bodong banyak menjerat anak muda. Bahkan, anak yang berusia di bawah 19 tahun atau Gen Z sudah bisa mendaftar pinjol.
Berdasarkan data, jumlahnya sebanyak 72.146 orang. Jika diakumulasikan, pinjaman ini mencapai Rp168 miliar dan menggunakannya untuk kebutuhan konsumtif, seperti belanja online, traveling, menonton konser (Liputan6.com, 21-2-2024).
Selain itu, anak muda juga mendapatkan tekanan dari lingkungan sosial untuk ikut serta dalam bisnis investasi yang sedang viral. Sebagian mereka takut dicap tidak update atau ketinggalan tren alias FOMO (fear of missing out).
Berbagai bentuk investasi terbaru bermunculan, seperti robot trading ilegal, skema ponzi, investasi forex ilegal, serta gadai ilegal. Begitu pun modus penipuan berkedok kerja paruh waktu, modus sniffing, yakni pelaku mengirim file format apk melalui undangan, atau kurir paket, tagihan listrik, dan lainnya.
Mirisnya, banyak yang akhirnya bvnvh diri karena terjerat pinjol ini. Ada juga yang gali lubang tutup lubang dari satu pinjol ke pinjol yang lain. Ia terjebak di labirin utang dan sulit menemukan jalan keluarnya.
Semua karena Sistem Ekonomi Kapitalisme
Sistem kapitalisme memberikan peluang muncul serta menjamurnya pinjol, baik legal maupun ilegal. Asas kapitalisme adalah manfaat, bukan halal haram sehingga semua hal yang bisa mendatangkan manfaat atau menghasilkan cuan akan dilakukan. Inilah yang dimanfaatkan oleh perusahaan pinjol dengan menjerat anak-anak muda yang minim literasi keuangan, konsumtif, dan hedonis.
Sekularisme menjadikan individu jauh dari agama sehingga mereka tidak tahu apa yang boleh atau tidak. Tidak peduli halal dan haram, yang penting bisa memenuhi kebutuhan dan gaya hidup. Fokus pada hasil, bukan pada usaha dan tidak sabar menjalani proses untuk bisa mendapatkan materi/ harta.
Masyarakat pun ikut membuat individu bernafsu mengejar kekayaan. Ada kecenderungan masyarakat kita saat ini senang pamer dan flexing. Seolah ada kepuasan sendiri ketika bisa eksis dan update gaya hidup kekinian. Sebaliknya, merasa insecure ketika tidak bisa seperti kebanyakan orang.
Sementara negara seolah menutup mata. Tidak ada sanksi tegas terhadap fakta maraknya pinjol dan investasi bodong sehingga praktik ini terus menjamur. Kalau pun ada yang ditutup, tetap saja muncul kembali.
Maraknya kasus anak muda terjerat pinjol dan investasi bodong mengisyaratkan bahwa negara telah gagal memberikan pendidikan karakter dan ideologis. Generasi tumbuh dalam lingkungan serba instan, ada masalah sedikit langsung kena mental. Mereka tumbuh menjadi generasi yang materialistis, memandang kebahagiaan dan kesuksesan dari materi semata. Akibatnya, mereka sulit menerima kenyataan dan mudah stres.
Mereka juga bisa melakukan pola konsumsi yang tidak rasional, misalnya membeli barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan, bahkan mengonsumsi barang atau jasa yang dapat mengancam kehidupan. Berfoya-foya dan terlalu cinta dunia sehingga takut terhadap kematian.
Mereka terlihat bahagia punya segalanya, sayangnya bahagia semu. Sesungguhnya mereka gelisah, tidak tenang, selalu merasa kurang, dan panjang angan-angan. Generasi seperti inikah yang kita harapkan menjadi penerus bangsa?
Pandangan Islam tentang Harta dan Kebahagiaan
Islam memiliki paradigma khusus terkait harta dan kebahagiaan. Islam mengajarkan bahwa tujuan hidup di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepada Allah Swt. dan mencari rida-Nya. Oleh karena itu, setiap perbuatan harus terikat dengan hukum syarak, bukan hawa nafsu atau kepentingan.
Harta bukanlah tujuan hidup, apalagi standar kebahagiaan. Harta adalah sarana untuk menunaikan berbagai ketaatan kepada-Nya. Ketika memiliki harta, seseorang akan bisa maksimal beribadah, bahkan mampu membangun tempat ibadah yang nyaman sehingga makin khusyuk salatnya.
Kita bisa berpuasa dengan stamina prima karena mampu mencukupi kebutuhan makan yang sehat dan tayib. Bisa pula bersedekah, infak, zakat, kurban, umrah, dan haji. Dengan harta pula kita bisa membantu agama Allah dan mencari pahala jariyah.
Rasulullah saw. pernah bersabda, ”
Sesungguhnya kekayaan adalah kecukupan dalam hati, kemiskinan adalah miskin hati.” (HR Hakim dan Ibnu Hibban).
Islam juga mengajarkan agar umatnya beriman terhadap rezeki dan setiap manusia sudah ditentukan rezkinya, tidak akan pernah tertukar atau nyasar. Apa yang sudah Allah tetapkan pasti akan mendatangi kita. Sebaliknya, apa yang tidak ditetapkan untuk kita, seberapa pun besarnya usaha, tetap tidak akan didapatkan.
Rasulullah saw. juga berpesan dalam sebuah hadis,
“Siapa saja yang menjadikan dunia tujuan utamanya, maka Allah akan membuat perkaranya berantakan, kemiskinan berada di depan kedua matanya, dan dunia tidaklah datang kecuali yang ditentukan bagi dirinya saja. Siapa saja yang menjadikan akhirat sebagai niatnya, niscaya Allah akan mudahkan urusannya dan menjadikan rasa kecukupan tertanam dalam hatinya dan dunia akan mendatanginya dan dunia itu remeh.” (HR Ibnu Majah).
Islam juga mengatur tentang utang atau pinjaman. Utang piutang termasuk dalam aktivitas muamalah yang dibolehkan dalam Islam.
Namun, Islam mengatur dengan beberapa adab, yaitu mencatat setiap utang, jangan pernah berniat tidak melunasi utang, ada rasa takut jika tidak membayar utang karena bisa menjadi penghalang seseorang masuk surga, berutang untuk kebutuhan yang mendesak, bukan sebagai hobi, apalagi gaya hidup, tidak menunda-nunda dan mempersulit pembayaran.
Islam juga melarang seseorang meremehkan utang meskipun kecil. Tidak boleh berbohong, apalagi menipu, dan yang paling penting bukan utang berbasis riba.
Islam mengatur sebab-sebab kepemilikan, di antaranya dengan bekerja, berburu, menggali perut bumi, warisan, hadiah, atau pemberian negara. Jika ingin kaya, tempuhlah dengan cara-cara yang baik dan benar, bukan dengan cara pinjol berbasis riba dan investasi bodong.
Jadilah kaya dengan niat memaksimalkan ibadah kepada Allah Swt., bukan untuk berbangga-bangga atau sombong. Sebab, harta itu adalah amanah yang harus dijaga dan digunakan untuk mencapai kesuksesan di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]