Oleh: Ummu Kahfi
CemerlangMedia.Com — “Masukan, saran, bahkan kritik yang paling pedas sekalipun adalah aset yang sangat berharga untuk kesuksesan dunia dan akhirat.” (KH Abdullah Gymnastiar).
Aneh tapi nyata! Kebebasan berpendapat yang katanya menjadi andalan dari sistem demokrasi, justru kini demokrasi menampakkan wajah aslinya dengan sikap antikritik. Kritik yang seharusnya menjadi hal yang lumrah, kini mulai nampak diupayakan untuk dibungkam.
Baru-baru ini Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza Dahniel telah mengusulkan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia agar tidak menjadi sarang radikalisme. Usulan tersebut disampaikan dalam rapat dengan Komisi III DPR, Senin (4-9-2023). Bukan tanpa sebab, usulan ini ada sebagai hasil dari menanggapi pernyataan anggota DPR Komisi III Fraksi PDIP, Safaruddin. Safaruddin pada awalnya mengulas soal karyawan BUMN yakni PT KAI yang menurutnya telah terpapar paham radikalisme. Ia kemudian memaparkan hasil pengamatannya terkait masjid di BUMN kawasan Kalimantan Timur yang setiap hari mengkritik pemerintah. Maka sangat memungkinkan mesjid itu bisa menjadi sarang radikalisme (news.detik.com, 06-09-2023).
Usulan dari Rycko ini tentu menuai banyak kritik. Salah satunya dari Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom. Ia menilai usulan pemikiran Rycko yang menghendaki agar pemerintah mengawasi setiap agenda ibadah yang digelar di tempat ibadah, serta mengawasi tokoh agama yang menyampaikan dakwah atau khotbah, hanya menunjukkan sikap frustrasi pemerintah yang tak mampu mengatasi masalah radikalisme (news.detik.com, 06-09-2023).
Paradoks Demokrasi Antikritik
Usulan untuk mengawasi seluruh tempat ibadah, mengawasi tokoh agama yang menyampaikan dakwah atau khotbah, dan seluruh agenda ibadah sebagai sebuah respons dari adanya sebuah kritik terhadap pemerintah yang perlu untuk dikritisi. Demokrasi yang katanya sangat mengagungkan empat pilar kebebasan yang di antaranya kebebasan berpendapat, seharusnya tidak perlu mempermasalahkan jika kritik deras mengalir di alam demokrasi.
Selayaknya sebuah bentuk perhatian, kritik dari rakyat itu ada sebagai bentuk kasih sayang juga kepedulian terhadap negeri, sebagai upaya untuk mengingatkan penguasa agar tidak berlaku zalim terhadap rakyat. Hanya saja, hari ini kita bisa menyaksikan secara jelas respos dari para penguasa ketika dikritik, mereka malah merasa tercemar nama baiknya dan menjawab kritik tersebut dengan menerapkan UU ITE. Di antaranya kasus atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap Moeldoko dan Luhut Binsar Pandjaitan oleh sejumlah aktivis yang berujung aduan pidana ke polisi (detiknews.com, 28-9-2021).
Pandangan Islam
Islam memandang kritik sebagai bentuk amar makruf nahi mungkar. Islam membagi masukan, saran, dan kritik dalam dua hal. Pertama, adalah untuk saling menasihati. Nasihat dilakukan dalam bentuk untuk kebaikan, yaitu mengajak kepada makruf (kebenaran) dan mencegah kemungkaran (keburukan). Kendati demikian, Islam tetap memiliki rambu-rambu dalam hal aktivitas ini. Islam menetapkan dalam hal saling menasihati haruslah memperhatikan adab-adabnya. Dilarang dengan tegas menasihati dengan jalan keburukan dan kesesatan. Islam menetapkan adab dalam memberikan nasihat, yakni haruslah secara privasi dan bukan di ruang terbuka atau tempat umum. Nasihat yang diberikan haruslah disampaikan dengan cara yang baik dan tidak menyakiti. Sebab, saling menasihati adalah bentuk kasih sayang terhadap sesama umat manusia. Allah Swt. berfirman,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (TQS An-Nahl: 125).
Kedua, yaitu sebagai muhasabah lil hukkam, yaitu mengoreksi kebijakan penguasa. Muhasabah ini dilakukan rakyat kepada penguasa yang berbuat zalim dan atau melanggar hukum Allah. Muhasabah rakyat kepada penguasanya dilakukan dalam rangka mencegah kezaliman dan kemaksiatan kepada Allah. Rasulullah saw. bersabda,
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Oleh karenanya, para khalifah pada masa Islam menjawab kritik dengan sikap bijak dan lapang dada. Menerima setiap bentuk kritik dari rakyat sebagai bentuk cintanya terhadap rakyat dan Islam.
Penutup
Pemimpin dalam sistem Islam tidak antikritik. Rakyat bebas mengkritik penguasa dalam rangka mencegah kezaliman dan kemaksiatan kepada Allah Swt.. Berbeda halnya dengan kondisi hari ini. Semestinya berbagai kezaliman yang terjadi saat ini membuka mata, hati, dan pikiran kita bahwa tidak ada sistem yang lebih baik melayani umat sepenuh hati selain hanya Islam semata.
Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]