Oleh. Fitri Rahmani
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Polemik Pondok Pesantren Al-Zaytun di Kabupaten Indramayu tak kunjung usai. Setelah viral gegara salat Idulfitri dengan jemaah perempuan di shaf terdepan beberapa waktu lalu, kini ponpes di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar ini kembali menyita perhatian. Nama ponpes itu hingga kini masih menjadi sorotan sebab mereka beberapa kali menunjukkan hal-hal yang mengarah pada ajaran sesat. Di antaranya memperbolehkan zina hingga menyanyikan lagu yang dianggap sebagai salam khas kaum Yahudi (Suara.com, 18-6-2023). Tidak hanya sampai di situ, Panji Gumilang juga menyebut bahwa Al-Qur’an bukan kalam Allah, tetapi kalam Nabi Muhammad saw. (InNalar.com, 26-6-2023).
Pakar Sejarah Islam Haikal Hasan mengatakan bahwa penyimpangan di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Indramayu sudah terjadi sejak lama dan telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 2002 silam (Viva.co.id, 6-7-2023).
Panji Gumilang sebagai pimpinan pondok kini pun masih diperiksa terhadap kasus penistaan agama dan pencucian uang. Hanya saja proses hukum sangat berjalan lambat, alih-alih jadi tersangka, ia justru balik menggugat MUI, Ridwan Kamil, dan Mahfud MD (Kontan.co.id, 22-7-2023).
Mengapa kasus penistaan agama bisa terjadi di sebuah pondok pesantren yang notabene merupakan tempat untuk mendidik para ulama? Lantas di mana peran negara untuk melindungi umat dari penistaan ini?
Sekularisme Akar Masalah
Sekularisme adalah pemahaman yang meyakini bahwa agama harus dipisahkan dari urusan negara. Dalam sekularisme, negara tidak boleh campur tangan dalam urusan keyakinan warga negaranya. Andai ada warga negara yang gonti-ganti agama/keyakinan, negara tidak peduli. Negara pun tidak akan peduli andai banyak muslim yang murtad dari Islam, termasuk menganut aliran sesat. Dari sekularisme pula lahirnya sistem demokrasi liberal yang menjamin kebebasan beragama dan pluralisme.
Pluralisme agama memandang bahwa semua agama sama sehingga melahirkan toleransi beragama yang kebablasan. Pada akhirnya muncul sinkretisme (campur aduk) agama, seperti doa bersama lintas agama, diskusi lintas agama, dan sebagainya seperti yang terjadi di Al Zaytun.
Sebaliknya, sikap untuk berpegang teguh pada akidah Islam yang lurus yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunah, termasuk pada keinginan untuk hidup diatur oleh syariat Islam secara kafah, mengkaji dan mengajarkan ajaran Islam ditentang, justru dicap sebagai radikal atau dikaitkan dengan radikalisme, bahkan dengan terorisme.
Di antara dampak buruk sekularisme yang diterapkan adalah menjadikan banyak kaum muslim tidak lagi berpegang teguh pada agama Allah (Al-Qur’an dan Sunah). Berpegang teguh pada Al-Qur’an bermakna menjadikan Al-Qur’an dan Sunah sebagai pedoman hidup, menjadikan Al-Qur’an dan Sunah sebagai rujukan, sebagai standar halal haram, benar atau salah, dan baik atau buruk, serta mengamalkan seluruh kandungan Al-Qur’an dan Sunah dalam seluruh aspek kehidupan (lihat QS Al-Baqarah [2]: 208).
Negara Bertanggung Jawab Menjaga Akidah Umat
Allah Ta’ala berfirman dalam QS Al-Ahzab [33]: 48,
“Dan janganlah kamu menuruti orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu. Janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah sebagai Pelindung.”
Salah satu peran negara yang paling utama dalam pandangan Islam adalah menjaga dan melindungi akidah/keyakinan umat Islam. Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dalam hadis dari jalur Abu Hurairah ra., bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدْلٌ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ ، وَإِنْ يَأْمُرُ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ [رواه البخاري ومسلم]
“Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Dia akan dijadikan perisai, di mana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan adil, maka dengannya dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam Nawawi menjelaskan makna al-Imam Junnat[un] [Imam/Khalifah itu laksana perisai] dalam kitabnya Syarah Sahih Muslim: ”Sabda Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam-: (الإمام جنة) yakni seperti al-sitr (pelindung), karena imam (khalifah) mencegah musuh dari perbuatan mencelakai kaum muslimin, dan mencegah sesama manusia (melakukan kezhaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.”
Kekuatan ini dibangun karena fondasi pribadi dan negaranya sama, yaitu akidah Islam. Oleh karenanya, tidak cukup penjagaan akidah hanya dibentengi oleh individu semata. Akan tetapi, negara yang akan menerapkan syariat Islam secara kafah sehingga akidah umat akan terlindungi dari pemikiran-pemikiran rusak yang dihembuskan oleh musuh-musuhnya.
Khatimah
Panji Gumilang dengan Al Zaytunnya hanyalah satu dari sekian fenomena penistaan agama sebagai akibat dari penerapan sistem sekuler liberal yang berseberangan secara diametral dengan Islam. Oleh karenanya, umat membutuhkan pemimpin Islam yang akan menjaga Islam tetap ya’lu wala yu’la alaihi sehingga nampak keluhuran dan keagungan Islam sampai kapan pun tanpa ada yang menistakannya karena penista agama akan mendapatkan sanksi berat jika Islam kafah diterapkan dalam kehidupan. Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]