Pesta Demokrasi Berpeluang Ciptakan Depresi?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Hana Annisa Afriliani, S.S.
(Penulis Buku dan Aktivis Dakwah)

CemerlangMedia.Com — Negeri ini sebentar lagi akan menghadapi pesta demokrasi, yakni momen pemilihan umum 14 Februari nanti. Berbagai manuver politik dilancarkan demi merebut hati umat, berharap nama dan partainya dicoblos saat pemilihan nanti. Adapun kegiatan kampanye, tentu membutuhkan dana melimpah, maka segala cara dilakukan termasuk dengan menggandeng para pengusaha alias pemilik modal.

Mahalnya biaya demokrasi membawa konsekuensi pada para caleg. Jika terpilih, harus bersiap mengembalikan modal kepada para pengusaha tadi. Akhirnya, banyak kebijakan pesanan yang nantinya dilahirkan demi memuluskan kepentingan para kapitalis. Di sisi lain, jika tak terpilih, para caleg rawan terkena depresi.

Oleh karena itu, demi mengantisipasi caleg depresi akibat gagal terpilih, berbagai rumah sakit menyiapkan ruangan khusus untuk caleg yang mengalami gangguan mental, misalnya Rumah Sakit Oto Iskandar Dinata Soreang, Bandung, Jawa Barat. Tidak hanya itu, pihak RS Oto Iskandar Dinata juga menyiapkan dokter spesialis jiwa bagi calon legislatif yang stres usai mengikuti kontestasi Pemilu 2024. Tidak mau kalah, RSUD dr. Abdoer Rahiem Situbondo, Jawa Timur juga sedang menyiapkan ruangan khusus rawat inap caleg depresi (Kompas.com, 24-11-2023).

Demokrasi Bikin Crazy

Antisipasi caleg depresi akibat gagal terpilih kelak bukan tanpa alasan. Pasalnya, pemilu-pemilu sebelumnya pun banyak caleg yang mengalami gangguan jiwa ketika tidak memenangi kontestasi. Hal ini diungkapkan oleh Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Abdul Aziz. Ia meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih (Detik.com, 26-01-2024).

Seorang psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional DR. Dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ. mengatakan, calon legislatif (caleg) yang mencalonkan diri, tetapi tanpa tujuan yang jelas, rentan mengalami gangguan mental. Ini karena, mereka mencalonkan diri hanya untuk mengejar materi, bukan demi idealisme memajukan negeri. Begitulah adanya sistem demokrasi kapitalisme, mencetak orang-orang berorientasi materi duniawi dalam menjalankan kehidupan ini, termasuk dalam ambisi mengejar kursi.

Demokrasi Berujung Depresi, Efek Sistem Rusak

Kesehatan mental dalam sistem demokrasi sekuler yang diterapkan hari ini memang sangat rentan terganggu. Pasalnya, sistem yang ada saat ini sangat jauh dari Islam sehingga memunculkan banyak keruwetan hidup yang membebani pikiran.

Sistem pendidikan hari ini yang tidak berasaskan akidah Islam mengakibatkan output pendidikan memiliki kepribadian rapuh. Terkena ujian hidup sedikit langsung oleng, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Wajar, karena sistem pendidikan yang ada lebih berorientasi pada nilai akademik dengan tujuan materi setelah lulus nanti. Padahal, pembentukan kepribadian Islam harusnya menjadi tujuan utama dari sebuah pendidikan karena sejatinya, itulah modal utama manusia menjalani kehidupan.

Tidak terbentuknya kepribadian Islam tersebut menjadikan seorang muslim rapuh dalam menghadapi kenyataan hidup yang pahit alias tidak sesuai harapannya. Depresi pun mudah menjangkiti. Lebih-lebih jika lemah terhadap pemahaman atas qada dan qadar, maka makin mudahlah dia terpuruk. Padahal, seburuk apa pun yang menimpa manusia, harus disikapi dengan tawakal Ilallah karena semua itu adalah bagian dari ketetapan Allah, Sang Pemilik skenario hidup.

Allah Swt berfirman,
“Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya.” (Al-Furqan (25): 58).

Pemilu dalam Islam

Perlu dipahami bahwa dalam Islam, pemilu itu hanyalah wasilah untuk memilih penguasa. Bisa jadi memang itu dilakukan, hukumnya mubah saja. Selama apa yang dijalankan oleh penguasa terpilih adalah sistem Islam, bukan yang lain.

Adapun mekanisme pemilihan penguasa dalam sistem Islam telah dicontohkan sejak masa Khulafaur Rasyidin. Tata cara yang dilakukan berbeda-beda, misalnya saja pada pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah. Sebagian kaum muslimin berdiskusi di Saqifah Bani Saidah dengan beberapa orang calon, yakni Saad bin Ubadah, Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Abu Bakar. Hanya saja, Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar, hingga akhirnya hanya tersisa dua calon, yakni Abu Bakar dan Saad bin Ubadah. Akhirnya, dibaiatlah Abu Bakar di Masjid Nabawi dengan baiat thaat.

Selanjutnya, menjelang wafatnya Abu Bakar, ia meminta pendapat dari kaum muslimin atas siapa yang layak menjadi penggantinya. Kaum muslimin ternyata merekomendasikan Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Akhirnya, setelah wafatnya Abu Bakar, terjadilah pengangkatan Umar bin Khattab sebagai khalifah dengan proses baiat oleh kaum muslimin.

Selanjutnya, pada saat Umar bin Khattab tertikam oleh Abu Lu’luah dari kaum Majusi, kaum muslim meminta umat menunjuk penggantinya, tetapi ternyata Umar bin Khattab menolak karena Rasulullah saw. tidak mencontohkan hal itu. Akhirnya, Umar merekomendasikan enam orang calon.

Dalam Tarikh Khulafa, Imam Ath-Thabari menulis bahwa Umar mengatakan dalam pencalonan tersebut jika telah bersepakat lima orang, lalu ada satu yang tidak sepakat, maka dia harus dibunuh. Singkat cerita, pada akhirnya, dari enam orang calon tersebut, tersisa dua calon, yakni Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan ra..

Setelah itu, Abdurahman bin Auf meminta pendapat masyarakat siang malam hingga akhirnya terpilihlah Utsman bin Affan. Selanjutnya, pasca wafatnya Utsman bin Affan dibaiatlah Ali bin Abi Thalib oleh kaum muslimin.

Dari mekanisme yang dicontohkan tersebut dapat diambil simpulan. Pertama, pengangkatan khalifah sah dengan adanya baiat kaum muslimin. Kedua, mereka yang menjadi calon pemimpin adalah yang telah memenuhi syarat in’iqad, yakni muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, mampu, dan adil. Adapun adil yang dimaksud adalah menerapkan syariat Islam dalam kepemimpinannya. Ketiga, pemimpin dipilih sebagai wakil rakyat untuk menerapkan syariat Islam dalam kehidupan.

Adapun pemilihan kepala daerah di dalam sistem Islam tidak dilakukan dengan pemungutan suara rakyat, melainkan mereka dipilih atau ditunjuk langsung oleh khalifah. Terlihat jelas bahwa mekanisme pemilu dalam Islam benar-benar mudah, murah, efisien, anti bertele-tele. Adapun saat ini, tidak tergambar mekanisme pemilihan dalam Islam karena kita tidak mengindera fakta pemilihan itu dalam sistem sekarang karena memang sejatinya, sistem Islam tidak diterapkan.

Demokrasi vs. Islam

Adapun perbedaan yang paling mencolok antara sistem Islam dan sistem demokrasi adalah bahwa kaum muslimin dalam sistem Islam tidak ambisius untuk mendapatkan kekuasaan. Ini karena mereka menyadari bahwa kekuasaan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah. Oleh karena itu, sangat berat amanah itu untuk dipikul. Sampai-sampai Umar bin Khattab mengatakan innalilahi wa innailaihi raajiuun saat terpilih menjadi khalifah. Saking beratnya amanah tersebut. Umar takut tak dapat berlaku adil kepada rakyatnya, maka sangat takut pula ia akan balasan Allah kelak di Yaumil Akhir.

Demikianlah, sistem demokrasi menghasilkan banyak kerusakan dan tipu daya bagi manusia. Ini karena dari asasnya saja, demokrasi bertentangan dengan akidah Islam, yakni dengan adanya konsep kedaulatan di tangan rakyat. Padahal, kedaulatan mutlak di tangan Asy-Syar’i, yakni Allah Swt.. Artinya, Allah lah yang berhak membuat hukum, bukan manusia atas nama dewan rakyat.

Demokrasi juga menciptakan iklim perebutan kekuasaan bukan atas nama kesejahteraan rakyat, melainkan memperkaya diri dan golongannya. Oleh karena itu, wajar jika dalam prosesnya banyak tipu-tipu yang dilakukan. Ambisi berkuasa pun benar-benar terasa dan akhirnya depresi akibat gagal terpilih pun amat rentan terjadi. Sungguh memprihatinkan!

Sungguh, hanya dengan sistem Islam sajalah pemimpin akan terpilih untuk menjalankan fungsi hakikinya sebagai pemelihara urusan rakyat. Sebab, sistem kepemimpinan yang dijalankannya pun berbasis syariat Islam. Pada akhirnya, hanya sistem Islam sajalah yang akan mampu menciptakan kewarasan di tengah umat secara hakiki. Wallahu a’lam bisshawwab. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

One thought on “Pesta Demokrasi Berpeluang Ciptakan Depresi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *