Oleh: Rina Rizkiana, S.Pd,
(Anggota Muslimah Peduli Umat Pangkalan Banteng, Kobar)
CemerlangMedia.Com — Menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah merupakan harapan setiap kaum muslim. Hal itu tidaklah mudah, mulai dari bagaimana seseorang memilih pasangan, menentukan visi misi berumah tangga, cara mendidik anak-anak serta menjaga agar tetap harmonis. Banyak pasangan muda-mudi yang telah melangsungkan pernikahan, tetapi tak jarang berakhir kandas.
Bahkan rumah tangga yang dibangun puluhan tahun pun ada yang kandas. Hal ini menunjukan rapuhnya bangunan keluarga muslim hari ini. Akankah bangunan keluarga dapat terselamatkan dari kerapuhannya?
Indonesia merupakan negara dengan kasus perceraian yang terbilang tinggi. Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Prof. Dr. Kamaruddin Amin menjelaskan bahwa jumlah perceraian sangat fantastis. Angka perceraian naik setiap tahun di Indonesia, menjadi 516 ribu. Sementara, setiap tahun angka pernikahan menurun menjadi 1,8 juta dari awalnya 2 juta (Republika.co.id, 21-9-2023). Selain hal tersebut, persoalan gugat cerai ramai di berbagai daerah. Pada Januari hingga akhir Agustus 2023, sebanyak 2.356 istri telah mengajukan gugatan cerai di Kabupaten Karawang (Garut.com, 20-9-2023).
Mengapa Perceraian Banyak Terjadi?
Perceraian menjadi ramai disebabkan beberapa hal di antaranya menurut Ketua Umum Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. K.H. Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa sebanyak 55% jumlah perceraian diakibatkan karena percekcokan. Perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hanya 6.000-an kasus, tetapi angkanya makin meningkat dari tahun ke tahun.
Mirisnya lagi, katanya, sebanyak 80% perceraian terjadi pada pasangan usia muda, di antara penyebabnya adalah karena poligami, penjara, judi, dan politik. Selain itu, 67% di antaranya adalah cerai gugat istri kepada suami.
Kepala Kanwil Kementerian Agama Aceh, Drs. Azhari, menyebutkan bahwa di daerahnya (Aceh) ada kasus perceraian disebabkan karena pihak suami penyuka sesama jenis atau homoseksual. Di daerah lain, Pejabat Gubernur Sulawesi Selatan Bahtiar Baharuddin menyatakan bahwa kemiskinan ekstrem dan tingginya angka stunting berdampak pada angka perceraian sehingga mencapai 20 ribu pasangan. Mulai dari tak mampu membeli ikan, susu, sayur, dan makanan bergizi lainnya pada saat 2 tahun pertama usia anak.
Begitupun yang terjadi di daerah Pangkalanbun Kotawaringin Barat penyebab banyaknya kasus perceraian diakibatkan karena faktor ekonomi. Banyak kasus perceraian yang didominasi oleh pasangan muda (Tribunnews.com, 24-1-2023)
Cukupkah dengan Penyuluhan dan Bimbingan?
Berharap kesempurnaan hubungan dalam keluarga memang tidak mungkin, tetapi setiap keluarga dapat menjaga keluarganya agar kuat, kokoh, dan terjaga dari kerapuhan. Bangunan keluarga hari ini rapuh bukan tanpa sebab. Sejatinya kehidupan masyarakat sangat didominasi oleh cara pandang mengenai hidup. Meski beberapa cara dilakukan untuk mengatasi kasus perceraian seperti memberikan penyuluhan dan bimbingan sebelum para calon pengantin melangsungkan pernikahan.
Program Bimbingan Perkawinan Pranikah bagi Calon Pengantin (Bimwincatin) yang digagas oleh Ditjen Bimas Islam Kemenag hadir untuk mengatasi persoalan tingginya angka perceraian. Melalui program tersebut diharapkan dapat memberikan edukasi, mencegah kerapuhan perkawinan, serta menguatkan bangunan keluarga. Tidak hanya itu, BP4 dan organisasi serupa juga mengembangkan layanan penasihatan dan konseling keluarga serta mediasi terhadap suami istri yang mengajukan gugatan cerai.
Dalam kasus lain, Ditjen Bimas Islam menemukan fenomena bahwa tidak semua yang ingin menikah memiliki kesiapan, belum paham tentang keluarga, belum siap menjadi suami atau istri, belum paham manajemen keuangan, serta kesehatan reproduksi. Adanya undang-undang yang mengatur pernikahan nyatanya tidak mampu mengatasi besarnya kasus perceraian. Namun, cukupkah Bimwincatin dan penyuluhan digiatkan demi mencegah dan menurunkan angka perceraian? Tentu saja tidaklah cukup karena nyatanya faktor internal dari calon pengantin atau suami istri hanya salah satu saja. Faktor eksternal yang menyebabkan semua bisa terjadi harus dilihat dengan jeli.
Sekularisme Biang Rapuhnya Bangunan Keluarga
Faktor yang menjadikan bangunan keluarga rapuh, yakni diterapkannya kapitalisme sekuler yang memandang bahwa kehidupan harus dijauhkan dari agama. Kacamata kapitalisme memandang bahwa pernikahan hanya sekadar duniawi semata. Meski persiapan calon pengantin dilakukan sedemikian rupa nyatanya tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar tentang pernikahan. Belum lagi minimnya pemahaman tentang visi misi keluarga yang sesuai dengan Islam.
Pengaruh pergaulan bebas di masyarakat, ekonomi sulit yang mengancam keluarga karena sistem ekonomi kapitalisme telah bersumbangsih terhadap persoalan keluarga. Ditambah lagi Pendidikan sekuler melahirkan masyarakat abai sehingga rawan melakukan maksiat. Negara abai terhadap pengurusan keluarga yang berdasarkan syariat Islam sehingga undang- undang yang dibuat tidak mampu menjadi solusi.
Bangunan Keluarga Muslim
Islam merupakan agama sempurna yang mengatur semua urusan kehidupan manusia. Rapuhnya bangunan keluarga di zaman ini sungguh benar adanya dan bukan sebuah retorika. Banyak tantangan kehidupan yang mengarah pada orientasi duniawi dan jauh dari visi misi yang sebenarnya yakni akhirat.
Terdapat banyak dalil yang memberikan anjuran untuk menikah dan mempertahankan pernikahan. Dengan adanya pernikahan, maka seorang laki- laki memiliki tanggung jawab terhadap istri dan keluarganya. Seperti firman Allah dalam QS A-Rum(30): 21 yang berbunyi, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
Juga ayat yang lain, Allah berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwam) bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan).” (QS An-Nisa [4]: 34).
Sabda Rasulullah saw., “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai baginya.” (Muttafaq ‘alaihi).
Dalam Islam, suami adalah pempimpin istri. Untuk itu Islam memerintahkan para suami berbuat baik, memuliakan, dan lembut kepada istri. Sebab, istri salihah adalah yang menunaikan hak-hak Allah dengan menaati Allah dan Rasul-Nya serta menunaikan hak suami dengan ketaatan, berkhidmat, dan menghormati suami. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik dari kalian terhadap keluargaku (istriku).” (HR Al-Hakim dan Ibnu Hibban dari jalur Aisyah ra.).
Butuh Negara
Pergaulan di antara suami dan istri bukanlah interaksi atas dasar kemitraan, tetapi persahabatan sejati dalam segala hal. Kehidupan persahabatan ini akan mendatangkan kebahagiaan, kedamaian, dan ketenteraman. Setiap pasangan suami istri hendaknya bersabar terhadap satu sama lain dalam menghadapi ujian kehidupan.
Jika terdapat kecacatan perilaku dari masing-masing pasangan, maka harus dijadikan sebagai wadah untuk evaluasi dan menasihati di antara pasangan. Sebab, ada kebaikan yang dilakukan pasangan yang bisa membuat rida, artinya tidak seluruhnya keliru.
Rasulullah saw., bersabda, “Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika seorang laki-laki tidak menyukai suatu akhlak pada seorang perempuan, hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridai.” (HR Muslim).
Selanjutnya, Rasulullah saw. Juga bersabda, “Perempuan mana saja yang meminta talak (cerai) tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Tidak ada yang menghendaki perceraian bagi kehidupan rumah tangga. Namun, ketika perceraian menjadi tren, bahkan fenomena sosial yang meningkat tiap tahunnya, maka harus ada tindakan dan perubahan. Tentu saja kehidupan pernikahan bisa kondusif sangat bergantung pada peran negara, dalam hal ini dibutuhkan syariat Islam secara menyeluruh. Negara yang mengatur agar terjaga kesakinahan keluarga dan keharmonisan serta ketenteramannya.
Negara juga menjaga ketakwaan individu, mengatur masyarakat agar saling peduli terhadap satu sama lain, dan menerapkan aturan yang paripurna sehingga bangunan keluarga menjadi kokoh atas dasar akidah Islam. Untuk itu sudah saatnya kembali kepada aturan Islam yang akan mampu menyelesaikan setiap persoalan kehidupan. Rapuhnya bangunan keluarga hari ini hanya bisa diselesaikan dengan penerapan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam.