Oleh. Nur Faktul
CemerlangMedia.Com — Hari ini, tempat wisata memang menjadi tempat favorit untuk dikunjungi. Apalagi di tengah hiruk-pikuk kesibukan yang tak ada habisnya. Rutinitas healing sebagai pelepas penat seolah menjadi kebutuhan tersendiri yang wajib untuk dipenuhi. Maka tak heran jika di tanggal merah tempat-tempat wisata selalu ramai oleh pengunjung. Tak peduli jika harus merogoh ratusan ribu rupiah demi kesenangan berpariwisata.
Hal ini pun ternyata mendapat perhatian para pengusaha dan juga pemerintah. Mereka berlomba-lomba untuk membangun kawasan wisata di tempat-tempat yang strategis. Sebuah kabupaten bisa memiliki puluhan hingga ratusan spot wisata baik yang alami maupun buatan. Tak heran jika Indonesia memiliki banyak sekali destinasi wisata yang membentang dari Sabang hingga Merauke dan tak terhitung jumlahnya.
Sayangnya, sektor pariwisata seringkali menjadi alat untuk melegalkan beragam unsur liberalisasi. Tempat wisata sarat dengan aktivitas gaya hidup bebas (kebebasan bertingkah laku). Pengunjung bebas melakukan apapun termasuk aktivitas freesex, mabukan bahkan penyalahgunaan obat-abatan.
Seperti yang terjadi di pantai Batu Baru Makassar yang seringkali ditemukan para pengunjungnya melakukan pesta miras. Setiap sore, lokasi pantai ini selalu ramai pengunjung. Banyak juga yang memancing. Sayangnya, potensi wisata ini tercoreng dengan seringkali ditemukan orang-orang yang pesta miras dan aktivitas seks (sulsel.fajar.co.id, 11-01-2021)
Paham kebebasan pada dasarnya merupakan alat penyokong bagi ideologi kapitalisme. Kebebasan merupakan alat peyangga yang digunakan sistem demokrasi untuk mensupport eksistensinya. Status ‘halal’ yang disematkan tak ubahnya sebagai kedok untuk menutupi borok atas buruknya pengelolaan di sektor pariwisata. Label halal dalam dunia pariwisata ini seperti halnya yang terjadi pada status syariah pada produk-produk perbankan seperti sukuk syariah, asuransi syariah atau pun bank syariah yang di dalamnya masih melakukan transaksi ribawi yang notabene diharamkan dalam Islam.
Bagaimanapun, semuanya adalah instrumen ekonomi kapitalisme. Jadi label ‘halal’ tidak lebih dari sekadar alat untuk menarik pasar bagi umat Islam. Mengingat bahwasanya Indonesia merupakan salah satu negara dengan predikat penduduk muslim terbesar di dunia.
Potensi pariwisata yang dimiliki oleh negeri ini memang dimaksimalkan oleh penguasa sebagai salah satu sumber Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Dalam setiap event pertemuan international, pemerintah senantiasa membahas seputar pariwisata, potensi, dan target wisatawan asing yang dapat masuk ke dalam negeri. Hal ini disebabkan karena wisatawan asing mampu mendatangkan devisa bagi negara dalam jumlah yang besar.
Sistem ekonomi yang berpedoman pada sistem ekonomi kapitalisme menjadi penyebab atas amburadulnya perekonomian Indonesia. Bagaimana tidak, SDA yang melimpah atas Bumi Pertiwi digadaikan kepada asing, pengelolaannya diserahkan kepada investor, dan negara hanya mendapatkan secuil atas sumber daya alamnya sendiri. Negeri dengan kekayaan alam yang melimpah justru terlilit utang ribawi yang sangat besar. Saking mirisnya, pasir pun dijadikan komoditas ekspor.
Dalam kondisi seperti ini pemerintah hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator bagi pemilik modal. Lebih tragis lagi, para pejabat yang duduk ditingkat atas hingga tingkat daerah hobi main ‘teken’ perundang-undangan demi mempermudah investor menjalankan bisnis mereka yang notabene mengeruk potensi SDA yang ada. Pertanyaannya, sebenarnya penguasa membela siapa?
Berbeda dengan sistem Islam yang berada di bawah naungan institusi Khil4f4h. Di dalam sistem Islam, Khil4f4h berperan penting dalam mengelola ekonomi negara berdasarkan pembagian jenis kepemilikan, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Khil4f4h melindungi kepemilikan individu dari upaya perampasan oleh pihak lain, seperti penipuan, pencurian, dan perampokan. Selain itu negara juga menjamin terlaksananya distribusi harta di kalangan individu secara adil sehingga kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) masing-masing individu bisa terpenuhi dengan sangat baik. Khil4f4h memegang peran utama untuk mengelola harta milik umum agar bisa digunakan demi kemaslahatan umat.
Demikianlah ketika Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara, kehidupan masyarakat akan terjamin. Apalagi sistem hukum yang ada di dalamnya sangatlah adil dan juga sistem keamanannya yang menjamin keselamatan atas nyawa manusia. Tidakkah sebagai umat Islam kita rindu akan diterapkannya sistem Islam? Sudah selayaknya umat Islam segera bangkit dan bersungguh-sungguh memperjuangkan kembali tegaknya aturan Islam agar keberkahan dari Allah Swt. menjadi sebuah kenyataan. Wallahu a’lam bisshawab. [CM/NA]