SEMA dalam Polemik Nikah Beda Agama

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh. Hessy Elviyah, S.S.
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — Polemik pernikahan beda agama belum juga usai. Setelah Pengadilan Negeri (PN) Surabaya mengabulkan permohonan pernikahan beda agama beberapa waktu lalu, kini restu PN Surabaya itu dianggap sebagai terobosan baru bagi pernikahan beda agama di Indonesia.

Humas PN Surabaya Suparno menyatakan bahwa pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan pernikahan beda agama tersebut bertujuan untuk menghindari praktik kumpul kebo dan memberikan kejelasan status. Lebih jauh, Ia juga menyebutkan bahwa pernikahan beda agama tidak dilarang oleh undang-undang negara ini (Cnnindonesia.com, 22-06-2022).

Perkara tersebut memantik sorot tajam dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI menegaskan bahwa pernikahan beda agama tidak sah dan haram, lembaga tersebut meminta PN Surabaya untuk membatalkan keputusan tersebut.

Senada dengan MUI, Prof. Dr. Neng Djubaidah yang merupakan Pakar Hukum Universitas Indonesia (UI) menyatakan bahwa keputusan pengadilan dengan mengesahkan pernikahan beda agama merupakan tindakan melawan hukum. Ia juga menambahkan bahwa pernikahan merupakan ibadah sehingga di negara ini terdapat perlindungan terhadap umat Islam untuk melaksanakan ibadah melalui pelaksanaan pernikahan, hal ini termaktub pada Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 (Detik.com, 16-02-2023).

Menanggapi polemik yang terjadi, akhirnya Mahkamah Agung (MA) membuat keputusan secara resmi dengan melarang seluruh pengadilan untuk mengabulkan permohonan pernikahan beda agama dan keyakinan. Keputusan ini disampaikan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 2 Tahun 2023. Hal ini merupakan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan beda agama dan keyakinan. Keputusan ini di buat pada 17 Juli 2023 (Voaindonesia, 19-07-2023).

Senasib dengan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, SEMA ini pun menuai polemik di tengah-tengah masyarakat. Yandri Susanto selaku wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi kepada keputusan MA melalui laman mpr.go.id pada 20 Juli 2023. Sedangkan di sisi lain, VOA Indonesia mengabarkan bahwa banyak pihak yang menyesalkan adanya SEMA. Hal ini karena dianggap mengancam nilai-nilai kebhinekaan yang ada di Indonesia (Voaindonesia, 22-07-2023).

Kontroversi Hukum Demokrasi

Itulah potret hukum demokrasi, selalu menimbulkan kontroversi dan perselisihan. Hal ini wajar terjadi dan pasti selalu terulang. Sebab dalam demokrasi, hukum atau peraturan dibuat berdasarkan pemikiran manusia. Sebagaimana halnya pemikiran, antara manusia yang satu dengan manusia yang lain pasti berbeda. Seperti pada kasus pernikahan beda agama, yang satu berlandaskan agama sedangkan yang satu lagi berlandaskan kesenangan atau kebahagiaan semata.

Maka sangat lumrah ketika terjadi penolakan pada putusan MA karena mengeluarkan SEMA. Sebaik apapun SEMA menurut tokoh ulama maupun tokoh masyarakat, tetapi dalam dunia demokrasi tidak bisa dianggap baik sebab hal ini dapat menyebabkan hakim dalam memutuskan perkara menjadi terbatas dan tidak bebas.

Semua ini sekaligus menjadi bukti nyata bahwa demokrasi tidak terlahir dari agama apa pun. Ide kebebasan yang berjalan di alam demokrasi menganggap bahwa pernikahan hanya sebatas pemenuhan kasih sayang, mereka tidak membutuhkan agama dalam menjalankan biduk rumah tangga. Agama hanya dijadikan sebatas ritual seorang hamba. Tidak perlu pengimplementasian dalam kehidupan sehari-hari. Pemikiran semacam ini yang membuat pasangan nikah beda agama tumbuh subur dan berani menunjukkan identitasnya bahkan berani bertaruh di meja pengadilan. Sebab memilih calon pasangan tidak lagi melihat bagaimana agamanya, ditambah hukum yang bisa ditawar sesuka hati untuk melegalkan aktivitas mereka.

Sejatinya, pernikahan beda agama sangat berbahaya dalam kehidupan manusia. Karena nantinya akan berpengaruh terhadap anak keturunannya. Sebagaimana yang disampaikan Prof. Dr. Neng Djubaidah bahwa seorang anak perempuan yang beragama Islam dan mempunyai ayah non-Islam, maka ketika menikah nanti, sang ayah tersebut tidak dapat menjadi wali nikah. Ini berarti, hubungan ayah dengan anak hanya sebatas hubungan perdata saja, bukan hubungan nasab (Detik.news, 16-02-2023).

Hukum Islam tegas

Polemik hukum yang menyebabkan perseteruan tidak akan dijumpai jika Islam diterapkan. Sebab hukum Islam adalah hukum yang jelas dan tegas, berasal dari Allah yang Maha Pengatur. Hanya orang-orang berilmu saja yang bisa menafsirkan ayat-ayat Allah, tentu dengan kekuatan dalil yang sahih. Tidak seperti hukum dalam sistem demokrasi yang bisa ditafsirkan siapa pun yang mempunyai kekuatan, keuangan, dan kekuasaan.

Dalam hukum Islam, institusi pernikahan adalah sebuah ibadah terpanjang. Sehingga Rasulullah saw. memberikan pesan kepada umatnya bahwa ketika hendak menikah diperintahkan untuk melihat dari hartanya, nasab (keturunannya), kecantikannya, dan agamanya, dan apabila ingin beruntung maka pilihlah yang taat beragama. Hadis tersebut disampaikan oleh Abu Hurairah dan diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Hal ini menegaskan bahwa Islam membuktikan kesempurnaan agamanya dengan mengatur secara detail bagaimana biduk rumah tangga, bahkan mengatur sejak saat memilih calon pasangan.

Tidak dapat dimungkiri, Islam memang memperbolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kafir ahli kitab (non musyrik), tetapi dalil tersebut harus dikaitkan dengan dalil-dalil yang lainnya karena kewajiban seorang pemimpin rumah tangga adalah melindungi seluruh anggota keluarganya dari neraka. Ayat tersebut terdapat dalam surah At-Tahrim ayat 6, “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim: 6)

Namun, Islam mengharamkan wanita muslim menikah dengan laki-laki kafir, sebagaimana dengan tegas difirmankan oleh Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 221. Demikian pula ahli tafsir terkemuka Ibn Jarir Al-Thabari dalam kitab Jami’ al-Bayan yang menyebutkan bahwa Allah mengharamkan wanita-wanita mukmin untuk dinikahkan dengan laki-laki musyrik mana saja (baik ahli kitab maupun bukan) (Jami’ Al-Bayan 2/379).

Maka dari itu, sebagai lembaga pengadilan tertinggi, Mahkamah Agung (MA) telah memberikan keputusan yang tepat di tengah-tengah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Inilah bentuk tanggung jawab negara dalam memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Namun begitu, hendaknya kita tidak boleh berpuas diri dengan SEMA yang telah dikeluarkan, sebab akar permasalahan adanya polemik ini adalah karena tidak diterapkannya sistem Islam yang sempurna.

Oleh sebab itu, sebagai seorang muslim yang mempunyai kewajiban menikah dengan pasangan seagama, perlu sekali untuk menerapkan Islam secara kafah di bawah naungan Daulah Islam agar pernikahan keluarga muslim terhindar dari tujuan yang salah, bukan sekadar berdasar pada perasaan cinta kepada pasangan, tetapi diperkokoh dengan berdasar pada rida Allah Swt. Insyaallah. Wallahu a’lam. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *