Oleh: Mia Agustiani, A. Md.
(Pegiat Literasi Muslimah)
CemerlangMedia.Com — Kementerian keuangan atau Kemenkeu menyebutkan utang pemerintah sebesar Rp8.253 triliun per 31 Januari 2024 masih dalam rasio aman karena berada di bawah ambang batas 60 persen dari produk domestik bruto atau PDB. Sementara Ekonom Awalil Rizky berpendapat bahwa batas 60 persen dalam UU tentang keuangan negara mestinya tidak ditafsirkan sebagai batas aman kondisi utang, melainkan yang tidak boleh dilampaui (www.tempo.co, 29-2-2024).
Kemenkeu yang terlanjur percaya diri menyatakan bahwa utang negara dianggap masih pada batas rasio aman, justru membuat dahi mengkerut. Utang yang makin hari makin besar malah dianggap sebagai sumber pendapatan karena digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang sebenarnya bukanlah kebutuhan mendesak.
Waspada Dominasi Asing
Pengelolaan keuangan yang tidak terkontrol akhirnya membuat nyaman berutang. Terbukti utang makin melilit dan kondisi rakyat makin sulit. Rakyat yang tidak pernah mengetahui pengelolaan utang tersebut pun hanya merasakan dampaknya yang jelas sangat merugikan, seperti harga kebutuhan makin meningkat, tarif listrik selalu naik, harga BBM naik, dan pendidikan serta kesehatan makin sulit didapatkan.
Sementara negeri ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang banyak. Namun, dengan pengelolaan yang diserahka pada swasta dan asing membuat kekayaan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan belanja negara. Oleh karenanya, negara menjadikan utang sebagai solusi ketika butuh pendanaan.
Utang apa pun bentuknya, bahkan dengan berdalih investasi asing sekalipun hanya akan membuat negeri ini makin sulit serta tidak mandiri. Hal ini akan mengganggu kedaulatan negara dan mengakibatkan hadirnya dominasi asing atau penjajahan, apalagi yang dipakai adalah utang ribawi yang jelas diharamkan oleh Allah Swt..
Negara diibaratkan sudah mengajak Allah perang jika mengambil solusi riba dalam kehidupan. Utang yang dipercaya sebagai keniscayaan, bahkan kerap dianggap wajar dalam membangun negara adalah pemahaman yang tidak boleh dibiarkan karena akan menyebabkan kesengsaraan.
Beberapa negara yang mengalami kesengsaraan akibat utang yang melilit seharusnya sudah cukup menjadi contoh. Sebut saja, Sri Lanka yang harus kehilangan pelabuhan serta bandara akibat gagal bayar. Nigeria membangun infrastruktur lewat utang dan akhirnya gagal bayar. Begitu juga dengan Uganda yang gagal bayar ke Cina terkait pengembangan pembangunan Bandara International Entebbe sehingga aset itu diambil alih oleh Cina.
Sungguh miris melihat fakta betapa besarnya efek utang dalam menghancurkan sebuah negara. Apabila kita hitung, —jika utang negeri ini ditanggung oleh warga—, setiap orang akan menanggung beban utang Rp30,5 juta. Jumlah yang tidak sedikit tentunya. Inilah fakta bahwa negeri ini diatur oleh sistem kapitalisme yang salah satu pemasukan utama negara adalah utang.
Utang dalam Islam
Islam memiliki sistem ekonomi dan politik yang khas. Ekonomi Islam mengatur jaminan kesejahteraan per individu rakyat, sedangkan sistem politik Islam mengatur urusan rakyat. Kedua hal tersebut harus dilaksanakan sesuai syariat Islam. Ketika aturan Allah kita terapkan, tentu sejahtera yang akan dirasakan seluruh rakyat.
Islam akan menjadikan negara kuat, berdaulat, dan mandiri. Islam tidak akan merendahkan harkat dan martabat negara dengan berutang untuk keperluan yang tidak mendesak. Terlebih utang riba yang diharamkan Allah Swt.. Larangan ini tertuang dalam firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 275 menjelaskan mengenai larangan riba yang merupakan perbuatan dosa besar.
Ketika Allah sudah melarang, pasti ada solusi lain dari permasalahan yang sama, salah satunya adalah pengelolaan kekayaan oleh negara. Keberhasilan atas penerapan syariat ini bukanlah isapan jempol belaka karena telah terbukti selama 13 abad lamanya. Negara yang menerapkan sistem Islam, yakni Daulah Khil4f4h tidak menjadikan utang sebagai sumber pendapatan bagi negara.
Jika ada suatu kondisi mengharuskan negara berutang, itu karena benar-benar mendesak dan khawatir menyebabkan kehancuran bagi masyarakat, misalnya membangun jembatan di daerah terpencil atau layanan kesehatan di pelosok negeri. Aturan ini menyebabkan negara memiliki skala prioritas dalam berutang. Namun, perlu ditegaskan bahwa utang ini bebas riba dan keuangan negara memang benar-benar dalam keadaan kosong. Artinya, utang adalah sumber terakhir dalam membiayai kebutuhan.
Sistem ekonomi Islam memiliki sumber penerimaan negara sebagai modal pembangunan. Hal tersebut akan membuat sistem keuangan menjadi kokoh dan stabil. Negara juga memiliki pos pemasukan tersendiri. Ketika kondisi keuangan normal, maka kesejahteraan rakyat terjamin, bahkan harta negara berlebih.
Pengelolaan, baik pemasukan maupun pendistribusian akan dilakukan oleh baitulmal. Setiap harta juga akan diklasifikasikan dengan jelas.
Pertama, ada pos kepemilikan negara yang bersumber dari ghanimah, anfal, fai, kharaj, tanah milik negara, tanah milik umum serta jizyah. Semua ini merupakan pemasukan tetap, sedangkan pemasukan tidak tetap dari pajak atau dharibah hanya akan dilakukan ketika kas negara kosong atau kurang. Namun, ketika kas negara sudah membaik, maka pajak dihentikan.
Penarikan pajak dalam Islam berbeda dengan penarikan pajak dalam kapitalisme. Pajak dalam Islam hanya diberlakukan sementara serta tidak dijadikan sumber utama pemasukan negara. Pajak tidak juga menyasar semua lini, tetapi hanya akan ditarik dari muslim yang memiliki kecukupan harta. Muslim yang kurang mampu dan kaum kafir dzimmi tidak akan ditarik pajak.
Kedua, dari pos kepemilikan umum yang bersumber dari pengelolaan sumber daya alam tambang emas, batu bara, nikel, dan sejenisnya. Demikian juga pemasukan dari sumber daya alam hutan berupa sumber daya alam perairan laut, sungai, selat, danau, dan sejenisnya.
Ketiga, pos zakat yang didapatkan dari zakat, sedekah, infak, serta wakaf kaum muslimin. Masing-masing pos baitulmal ini memiliki alur pengeluaran tersendiri dan tidak boleh dicampur aduk pengelolaannya, misalkan untuk membangun infrastruktur publik. Negara tidak boleh memakai harta dari pos zakat karena zakat sudah memiliki pengeluaran terhadap delapan asnaf penerimanya sesuai syariat Islam. Apabila ingin membangun infrastruktur publik, maka negara harus memakai harta dari pos kepemilikan negara dan kepemilikan umum.
Inilah aturan Allah yang ketika diterapkan akan memberikan kemaslahatan bagi rakyat. Mekanisme ini akan membuat keuangan kokoh, stabil, bahkan mengalami surplus. Terbukti pada masa kekhilafahan Harun Al-Rasyid mengalami surplus 900 juta dinar emas yang setara dengan harga emas Rp1.179.000 per gram, senilai 4 miliar lebih. Aturan sahih ini selain mudah dijalankan, juga menghindarkan negara dari kehancuran.
Berbeda dengan pengelolaan dalam kapitalisme yang menganggap utang sebagai solusi, ternyata hanya akan membawa masalah lebih banyak.
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS Al-Maidah: 50).
Seharusnya ayat tersebut menambah keyakinan bagi kaum muslimin untuk menerapkan aturan Allah, baik dalam kehidupan individu, masyarakat, bahkan bernegara. Buang jauh aturan manusia yang hanya akan menambah problematika. Sudah selayaknya kita bersegera untuk mengembalikan Islam ke dalam kehidupan manusia.
Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]