Karya. Nadzira Asdza Syahla
Kelas II SD Karang Tengah 4 Ngawi
(Penulis Cilik CemerlangMedia.Com)
CemerlangMedia.Com — Saat ini, di luar turun hujan begitu deras. Kubuka jendela kamarku lebar-lebar, dan berharap aku bisa mencium bau khas tanah yang basah terkena air itu. Hem … harapanku terwujud, harum segar baunya membuat pikiranku ke mana- mana.
Entah mengapa, bayangan itu membawaku menuju ke masa lalu. Kalau tidak salah kejadiannya saat itu hujan sangat deras. Aku merengek meminta agar ibu mengizinkanku bermain hujan di luar, akan tetapi beliau tidak mengiyakan dengan alasan nanti jika ada petir dan kilat. Karena saat itu aku masih TK nol besar, dan selalu dibilang kamu masih kecil, dan masih banya yang belum diketahui. Belum dapat membedakan mana yang baik dan tidaknya. Tetapi kala itu aku tetap nekat ingin ke luar rumah, bermain hujan. Dengan berjalan pelan- pelan, kemudian kubuka gerbang depan dengan pelan juga. Dan baru digeser sekali saja, dalam waktu yang bersamaan, “duuuuaaar” spontan aku menjerit sambil berbalik arah, dan lari masuk ke dalam rumah. Ibuku yang melihat polah tingkahku saat itu tertawa terbahak- bahak. “Hayo, kamu masih gak percaya ya, dengan ucapan Ibu?” ucapnya.
Masa kecilku saat itu banyak sekali yang lucu jika diingat kembali. Dulu sebelum masuk sekolah taman kanak- kanak, aku paling suka bermain sendirian. Karena aku tinggal di perumahan dan tidak memiliki teman yang sebaya. Semuanya rata- rata sudah pada duduk di bangku SD. Mainan lego segala jenis aku punya, dari yang kecil hingga lego yang besar. Lego besar biasanya aku suka membuat bangunan kastil ala-ala raja. Lego kecil aku buat rumah- rumahan. Kemudian jika aku bosan dengannya, aku ganti dengan mainan alat masak yang lengkap, ada kompor gas, kulkas, blender, mesin cuci, piring, sendok, gelas, dan lain-lain. Tetapi setelah umurku 4 tahun, aku sudah disekolahkan oleh ibu di TK Aisyah kala itu. Sejak sekolah, waktu bermainku terbagi dengan waktu belajar membaca dan mengaji. Hari libur saja aku baru bisa bermain dengan mainanku itu.
Waktu awal masuk sekolah adalah waktu di mana banyak hal lucu yang jika diingat kembali, kok bisa ya dulu seperti itu. Bagaimana tidak, setiap hari kalau belum menangis, rasanya ada yang kurang. Ibuku selalu berkata, “Sudahkah kamu menangis hari ini?” Tiap hari di sekolah itu pasti menangis. Tidak pernah tidak menangis. Jika menangis, saat itu ada salah satu ibu guru yang selalu menggendongku. Jika aku ngambek, mogok ngomong, diam di pojokan ruangan dan tidak bergerak sama sekali. Ditanya apapun tidak ada jawaban. Lalu berlinanglah air mata. Itu pun yang mencoba menenangkan, ibu guru itu juga. Kemudian yang lebih anehnya lagi, aku ingat betul, saat itu aku menangis tapi di bawah kolong meja karena berselisih dengan teman sebelah. Ibu guru mencariku ke mana- mana saat itu. Terbayang kan betapa cengengnya aku waktu kecil. Dan yang berhasil menenangkannya tiada lain lagi ialah ibu guru yang sama. Ya Allah, kuingat terus kejadian itu hingga saat ini. Dan pada akhirnya ibu guru itu menjadi ibu guru kesayanganku. Beliau bernama Bu Endang. Jika ada yang salah, selalu ditegur dengan nada sedikit tinggi. Kalau bahasaku, “Bu Endang tadi marah- marah!” Sehingga aku mengatakan, “Ibu Endang itu galak, tapi aku suka dan aku pun sayang.” Aneh kan?? Tapi kalau dipikir, bu guru kesayangan pun tetap sabar mengendongku di kala aku menangis. Itu tandanya beliau juga sayang terhadapku.
“Hey Nduk, Kamu ngapain kok senyum- senyum di jendela?” ibuku bertanya. “Astaghfirullohhaladzim Ibu, bikin kaget aja deh,” jawabku. Asli, benar-benar kaget aku karena melamun saat itu. “Ibu … Ibu … Masih ingat tidak, kecilanku dulu pernah tidak nurut dan nekat ke luar saat hujan?” tanyaku. Ibuku langsung tersenyum manis. “Maafkan aku ya, Bu, dulu aku banyak tidak nurutnya.” Ibuku menjawab, “Tidak apa, Nduk, dulu kan kamu masih terlalu kecil jadi belum paham maksud Ibu melarang.”
Alhamdulillah, dan terima kasih teruntuk ibu guru kesayanganku yang telah dengan sabar membimbing dan mengajarkan banyak hal, semoga lelah bu guru menjadi lillah … Jangan lupakan aku ya, bu guru. Dan teruntuk engkau ibuku tercinta “Uthe” yang telah melahirkanku sekaligus membesarkanku dengan kasih sayangmu, selalu ingatkan aku ya jika berbuat salah, dan jangan putus doakan kami anak-anakmu. Sebab bukan aku yang kuat, melainkan doa ibuku yang hebat. [CM/NA]