CemerlangMedia.Com — Cari kerja sulit membuat hidup makin pailit. Ungkapan inilah yang tepat menggambarkan kondisi generasi Z (gen Z) saat ini. Sebagai generasi produktif, masih banyak dari mereka bertitel sebagai pengangguran.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap, hampir 10 juta gen Z usia 15—24 tahun menganggur atau tanpa kegiatan (not in employment, education, and training/NEET) dan akan menjadi ancaman serius bonus demografi menuju Indonesia emas 2045. Jumlah mereka paling banyak berada di wilayah perkotaan, yakni 5,23 juta orang dan di pedesaan 4,65 juta (29-5-2024).
Begitu juga yang terjadi di tahun sebelumnya, jumlah gen Z yang menganggur tidak berubah secara signifikan. Terbatasnya lapangan kerja dan ketidaksesuaian antara lapangan kerja dengan kualifikasi pendidikan merupakan penyebab mereka menganggur di usia muda dan tidak melakukan kegiatan apa pun. Hal ini menunjukkan bahwa negara telah gagal menyediakan lapangan kerja.
Semestinya negara mampu menjadikan kondisi ini sebagai alarm demi mengantisipasi keadaan yang makin memburuk dan berulang karena jumlah pengangguran akan berpengaruh terhadap angka kesejahteraan. Makin tinggi pengangguran, maka jumlah masyarakat yang tidak memiliki pendapatan juga bertambah, angka kesejahteraan pun berada di level rendah.
Sementara gen Z adalah generasi yang tumbuh dengan akses internet dan teknologi digital portabel sejak usia muda dan terkenal dengan julukan “digital native” atau orang-orang yang tumbuh bersamaan dengan reformasi digital. Mereka sangat melek terhadap informasi dan teknologi.
Ibarat kata, kemampuan teknologi mereka seakan sudah bawaan sejak lahir. Jiwa inovatif dan kreatif mereka tidak diragukan lagi. Tentu hal ini akan sangat bermanfaat apabila disalurkan dalam lapangan kerja yang mumpuni di era transformasi digital dan teknologi saat ini.
Namun, hal ini sepertinya kurang mendapat perhatian dari pemerintah. SDM (sumber daya manusia) yang kompeten seakan terabaikan menjadi tuna karya di negara dengan SDA (sumber daya alam) yang terkenal kaya ini. Negara dengan tangan terbuka lebih memilih para investor asing untuk mengelola SDA yang dimiliki. Dengan dalih putra-putri bangsa dianggap belum mumpuni dalam penguasaan ilmu dan teknologi, kebijakan preventif sekaligus kuratif pun dilakukan negara melalui investasi tangan-tangan asing.
Oleh karenanya, penyerapan tenaga kerja pun lebih didominasi oleh kebijakan para investor asing. Tentu saja mereka lebih memilih para pekerja dari negeri mereka sendiri. Secara otomatis dan disadari, sumber kemakmuran yang semestinya untuk masyarakat Indonesia akan beralih menjadi sumber kemakmuran bagi warga negara asing.
Itulah bentuk pengaturan sistem kapitalisme yang merengkuh Indonesia saat ini. Para kapitalis (pemilik modal besar) berjalan sebagai pengendali hampir di semua sektor, industri, perdagangan, ekonomi, dan juga pendidikan.
Negara hanya mempunyai wewenang sebagian kecil saja. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan negara pun tidak lepas dari campur tangan kapitalis. Oleh karenanya, tidaklah heran, apabila SDA yang semestinya dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, malah diserahkan kepada pemilik modal asing (para kapitalis). Alhasil, rakyat menjadi miskin di negeri kaya ini.
Dalam sistem pendidikan pun, negara tidak lagi fokus meningkatkan mutu sumber daya manusia, akhlak, dan budi pekerti yang luhur, tetapi lebih mengutamakan lulus untuk bekerja demi memenuhi hajat kapitalis. Pada akhirnya, mereka pun sulit mendapat pekerjaan karena lapangan kerja yang ada bukan lagi untuk rakyat, seperti yang dialami para gen Z kini.
Namun, berbeda dengan Islam. SDA yang melimpah wajib dikelola negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Haram hukumnya diserahkan kepada pihak asing. Melalui pengelolaan SDA ini, maka negara dapat menyediakan lapangan kerja bagi rakyat untuk menunaikan tanggung jawabnya sebagai pengurus rakyat.
Selain itu, sistem pendidikan berbasis akidah dan pengembangan skill akan diterapkan negara untuk menunjang kesejahteraan dan serapan tenaga kerja yang dibutuhkan. Ini karena Islam dan syariatnya telah mewajibkan bagi laki-laki balig untuk bekerja dan mandiri. Pun, bagi para wanita, dengan bekal pendidikan yang terapkan sesuai Islam, mereka dapat mengembangkan skill di sektor publik, tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai penanggung jawab rumah tangga.
Oleh karenanya, negara sebagai pengurus rakyat akan senantiasa fokus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Perlu kita ingat, untuk menguasai SDA sangat diperlukan SDM yang menguasai iptek dan manajemen profesional yang berakhlak mulia.
Alhasil, tidak hanya pengelolaan dan pemanfaatan SDA saja yang didapat, tetapi juga akan menghasilkan SDM yang berilmu tinggi sebagai generasi penerus pembangun peradaban mulia. Hal ini tidak akan dapat terwujud apabila negara masih percaya kepada sistem kapitalisme, bukan kepada Islam. Wallaahu a’lam bisshawab.
Nilma Fitri, S. Si.
Cikarang, Bekasi [CM/NA]