CemerlangMedia.Com — Pemerintah telah mengeluarkan wacana revisi UU nomor 6 tahun 2014. Revisi ini akan mengubah masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun dalam satu periode. Dengan masa jabatan 6 tahun saja potensi korupsi dengan kerugian ratusan juta masih terjadi. Akankah perpanjangan masa jabatan akan dapat mengatasi korupsi?
Ya, korupsi aparat desa masih saja menggema. Kasus terkini terjadi di Serang. Seorang Kepala Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang (A), dengan masa jabatan 2015-2021 telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp988 juta. Dana desa tersebut diselewengkan untuk keperluan pribadinya dan digunakan untuk pesta di tempat hiburan malam hingga poligami dengan 4 perempuan (30-6-2023).
Poin lain yang juga dibahas dalam revisi UU Desa, yaitu: penetapan calon tunggal kepala desa melalui musyawarah mufakat, uang pensiun bagi mantan kepala desa, perlindungan hukum bagi kepala desa, pengangkatan perangkat desa, dan dana desa naik menjadi Rp2 Milyar. Semua poin revisi UU Desa ini disinyalir demi optmasi kinerja kepala desa dan meningkatkan pembangunan di desa. Akan tetapi pada faktanya, revisi yang menuai kontroversi ini justru lebih membuka peluang jalan pejabat korupsi bila masih bertahan dengan pandangan hidup sekuler kapitalisme yang menjadikan kekuasaan dan kebijakan sebagai sarana meraih keuntungan.
Pakar politik Universitas Airlangga (Unair) Ucu Martanto juga mengingatkan bahwa poin perpanjangan masa jabatan kepala desa akan berpotensi terbentuknya politik dinasti. Revisi UU ini pun tidak boleh hanya ditinjau dari aspirasi kepala desa saja, tetapi perlu mendengar masukan dan pendapat dari masyarakat. Pertimbangan pemerintah yang banyak menyoal sisi kemaslahatan bagi kepala desa ini semestinya dilengkapi dengan aspek regulasi demi meminimalisasi penyalahgunaan jabatan aparat desa.
Oleh sebab itu, sudah selayaknya pemerintah meninjau kembali revisi UU Desa ini. Bukan hanya pada “royalti” jabatan aparat desa, tetapi juga kinerja pejabatnya. Regulasi dan sanksi tegas harus juga ditetapkan. Alhasil, pembangunan desa yang diharapkan dapat segera terwujud.
Tentu akan sulit dilakukan apabila sistem negara masih sarat dengan kepentingan karena kapitalisme dan sekularisme yang mengatur negeri bukan tegak untuk kesejahteraan rakyat. Akan tetapi lebih kepada soal mendapat keuntungan dan menempatkan rakyat sebagai objek perebutan kekuasaan. Oleh karenanya, tampak jelas warna ketidakadilan dan kezaliman yang kental bersahabat dengan kehidupan masyarakat.
Persoalan ini akan terus terjadi jika negara tetap bersikukuh merengkuh sekularisme yang rapuh. Tercapainya kesejahteraan rakyat dan kontroversi pejabat hanya dapat diselesaikan dengan sistem Islam. Islam akan menjamin kinerja pejabat tetap berada di jalan kebenaran. Landasan iman dan aturan syariat adalah benteng pembatas perbuatan yang kerap mendahulukan nafsu materi daripada hati nurani. Pejabat pun akan berpikir panjang untuk melakukan kezaliman.
Ini karena kepemimpinan Islam adalah amanah yang harus dijalankan demi kesejahteraan rakyat. Pemimpin Islam tidak hanya berbicara kekuasaan duniawi tetapi juga ukhrawi. Pertanggungjawaban akhirat akan amanah yang diemban akan menjauhkan pejabat dari mengejar materi dan kekuasaan, karena kepemimpinan merupakan jalan demi meraih rida Allah Swt. dan kebahagiaan di kehidupan kekal dan abadi. []
Nilma Fitri, S. Si.
Cikarang, Bekasi [CM/NA]
One thought on “Kontroversi Pejabat dan Revisi UU bagi Aparat”
Bermanfaat