CemerlangMedia.Com — Pesta demokrasi akan diselenggarakan tahun depan, tetapi euforia menyambutnya sudah terasa setahun belakangan. Di layar kaca, wara-wiri disuguhkan program berbagai partai. Berbagai nama ditampilkan dan tak mau ketinggalan, para eks napi koruptor pun ikut menyemarakkannya.
Keikutsertaan para eks napi koruptor bukan hanya kali ini saja. Bahkan pada pesta demokrasi yang diselenggarakan lima tahunan ini mereka selalu aktif ikut serta. Pemilihan calon legislatif periode 2019—2024 saja terhitung ada 40-an eks napi koruptor yang mencalonkan diri (29-1-2019). Sedangkan untuk pemilihan umum tahun 2024 ada puluhan nama eks napi koruptor yang ikut andil.
Kebijakan pelarangan eks napi koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu telah dicabut oleh Mahkamah Agung dengan alasan hak asasi manusia. Bukan tidak mungkin hal ini akan membuka peluang besar bagi mereka untuk mengulang kembali perbuatan yang sama ketika mereka menjabat nanti, mengingat ongkos keikutsertaan dalam pemilihan legislatif sangat besar. Lantas, bagaimana mereka mengembalikan dana yang telah mereka keluarkan saat kampanye?
Padahal masyarakat umum tidak setuju jika eks napi koruptor maju lagi dalam pemilihan legislatif. Hal ini disebabkan tindakan mereka sebelumnya yang telah menyakiti dan merugikan rakyat sehingga mereka tidak layak menjadi pelayan publik.
Kebijakan negara dalam memberantas tindak pidana korupsi (tipikor) seperti ‘hangat-hangat taik ayam’. Pemangku kebijakan begitu bersemangat memberantas korupsi di masa kampanye dan di awal menjabat. Namun, seiring berjalannya waktu, ketika mereka sudah duduk enak dan nyaman di sana, mereka lupa dan bahkan mereka berupaya memakzulkan lembaga resmi negara yang bertugas memberantas perilaku rasuah.
Sungguh berbeda dengan Islam. Islam memiliki ketegasan sistem dalam memberantas korupsi yang tidak terlepas dari sifat sistem sanksi Islam sebagai jawabir (penebus) dan zawajir (pencegah). Ini bermakna bahwa hukuman yang diberlakukan kepada si pelanggar hukum dapat menebus dosanya yang telah dilakukan. Sedangkan bagi masyarakat umum bukan si pelaku akan menjadi pencegah mereka agar tidak berbuat yang serupa.
Tindakan korupsi tidaklah sama dengan mencuri. Sebab mencuri adalah mengambil harta orang lain, sedangkan korupsi adalah sebuah pengkhianatan terhadap amanah. Maka hukumannya (sanksi) termasuk dalam takzir, yakni kadar hukumannya ditentukan oleh hakim. Hukuman teringan seperti diberi nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda, pengumuman si pelaku ke khalayak ramai atau media massa, dicambuk hingga hukuman terberat, yakni hukuman mati. Berat atau ringannya hukuman tersebut tergantung dengan berat atau ringannya kejahatan yang dilakukan.
Purwanti
(Kisaran, Sumatra Utara) [CM/NA]