CemerlangMedia.Com — Sudah bosan rasanya jika harus melihat aksi tawuran remaja di Kota Bekasi. Entah bagaimana merespons kasus yang hampir setiap pekan mewarnai laman berita. Pun di Ramadan yang mulia ini tidak surut kabarnya, bahkan selalu ada korban jiwa di antara mereka.
Bulan suci yang seharusnya menjadi waktu untuk semua pihak berbenah diri dan introspeksi, seolah menjadi wahana baru perang kembang api dan sarung oleh pemuda, seperti yang terjadi di Jalan Raya Narogong, Kecamatan Bekasi Timur, Kota Bekasi. Tiga kelompok remaja bentrok, ratusan anggota mereka turun ke jalan hingga melumpuhkan arus lalu lintas setempat. Diawali dengan perang kembang api, berlanjut dengan sajam sehingga salah seorang menjadi korban (kompas.com, 15-3-2024).
Tempo.co meliris, seorang pemuda berusia 17 tahun tewas di Jalan Arteri Tol Cibitung, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, pada Jumat (15-4-2024). Hal ini berawal dari perang sarung antara kedua kelompok yang bertemu di lokasi.
Satu persatu keluarga harus kehilangan nyawa pemudanya. Masyarakat pun dibuat geram dengan ulah mereka. Sampai kapan ini harus terjadi?
Tentu sangat ironis jika hal ini terjadi akibat perilaku konyol sebuah generasi. Jiwa-jiwa yang sangat berharga dan penerus peradaban harus melayang tanpa makna. Sudah waktunya kepiluan ini lekas dibenahi. Seluruh elemen yang menaungi pemuda harus mulai introspeksi atas keadaan ini.
Sepatutnya pula semua elemen berpikir kritis, mengapa kasus ini makin sering terjadi? Keluarga sebagai pengajar pertama, perhatian masyarakat, dan sistem pendidikan di sekolah, serta penjagaan berupa hukum negara harus bersinergi menyelesaikan persoalan ini. Harus disadari pula bahwa ada faktor yang sangat mendasar sebagai penyebab kerusakan generasi.
Saat ini, potensi pemuda berada pada situasi yang tidak ideal. Penerapan sistem kapitalisme sekuler dalam kehidupan merupakan faktor utama rusaknya generasi. Sistem yang lahir dari Barat telah membajak potensi pemuda. Secara global, Barat telah mendesain dan memanipulasi pemuda agar menjadi aset penggerak ekonomi kapitalis dan moderasi.
Serangan media kapitalisme sekuler juga telah menuntun para pemuda untuk berkreatifitas demi cuan dan bergaya hidup hedonis. Seluruh aktivitas hidupnya telah dijauhkan dari agama sehingga pola pikir dan pola sikap menjadi lumpuh dan jauh dari Islam.
Mengambil sistem rusak sebagai landasan hidup telah membuat pemuda lemah dan tidak berdaya. Lantas, adakah sistem hidup yang mampu mengembalikan pemuda kepada fitrahnya?
Jika dilihat dari akar permasalahannya, tawuran tersebut terjadi akibat kegagalan mentransfer pemahaman yang benar, seperti dasar berpikir dan berbuat sesuai tuntunan Islam. Ini karena Islam tidak hanya mengatur bagaimana beribadah, tetapi juga sebagai aturan hidup yang sangat sempurna bagi umatnya. Sekaligus sebagai mabda yang mampu menanamkan akidah yang kokoh dan mengajarkan makna dan tujuan hidup bagi manusia.
Tercatat dalam sejarah, Islam memiliki pemuda-pemuda tangguh yang tercatat dalam peradaban Islam. Di usianya yang sangat belia, mereka mampu menerima tanggung jawab besar, seperti Attab bin Asid (18 tahun), ia diangkat Rasulullah saw. menjadi gubernur di Makkah. Zaid bin Tsabit (13 tahun), mampu menulis wahyu, bahkan dalam 17 malam mampu menguasai bahasa Suryani, hafal Kitabullah, hingga menjadi penerjemah Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam. Masih banyak pemuda-pemuda lainnya yang telah menorehkan prestasinya di masa Daulah Islam.
Dalam Islam, negara bertugas mengatur dan mengayomi setiap perilaku seluruh rakyatnya, yakni dengan menyelaraskan proses pendidikan di setiap lingkungan berdasarkan akidah Islam, mulai dari rumah, sekolah, dan masyarakat. Pembetukan kepribadian yang khas berdasarkan akidah Islam akan melahirkan generasi berkepribadian Islam dan memiliki akhlak sesuai dengan akidah Islam pula.
Oleh karena itu, sudah saatnya semua elemen, khususnya negara untuk introspeksi. Hanya Islam satu-satu agama yang mampu mengatur cara hidup manusia sesuai dengan fitrahnya. Dan tugas kita semua untuk mengembalikan Islam dan menjadikan akidah Islam sebagai standar mendidik generasi sehingga mereka menjadi agen perubahan.
Wallahu a’lam bisshawwab
Sari Chanifatun [CM/NA]