Bertemu Sahabat Taat, Nikmat Setiap Saat

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Rina Herlina
(Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — Empat tahun yang lalu hidupku sangat biasa-biasa saja. Standar hidupku sama dengan standar hidup orang kebanyakan hari ini, yaitu semua berasas materi dan manfaat. Jika tidak ada materi, tidak ada pula semangat. Ya, begitulah standar hidup manusia saat ini.

Rutinitasku pun demikian. Hanya berkutat seputar memikirkan isi perut dan gaya hidup. Esok makan apa, apa yang sedang trend, fashion apa yang sedang booming, dan semua hal yang berbau kesenangan duniawi. Ya, begitulah aku dahulu. Kuhabiskan hidupku hanya untuk mencari kebahagiaan dan materi sebanyak-banyaknya.

Hidupku selalu merasa kurang, meski keuangan baik-baik saja. Jika dipikir-pikir, rasanya aku tidak pernah kekurangan uang saat itu, tetapi entah kenapa hidupku sama sekali tidak tenang dan sering kali mengalami kegelisahan.

Empat tahun yang lalu aku memang tidak kaya, tetapi keuanganku cukup stabil. Untuk biaya hidup, uang gajiku cukup untuk menopangnya. Herannya, meski uang di dompet selalu ada, tetapi hati tidak pernah tenang dan selalu ketakutan jika uang itu akan segera habis.

Aku tidak tahu makna hidup yang sebenarnya. Aku hanya tahu, hidup di dunia ini sementara, maka manfaatkanlah selagi bisa, yaitu dengan bersenang-senang. Aku memang percaya adanya Allah dan hari akhir, tetapi hal itu tidak terlalu fokus menjadi pikiran. Fokusku adalah bagaimana menikmati hidup yang sebentar ini dengan sebaik-baiknya.

Salatku tidak pernah bolong. Bahkan, aku menutup aurat, meski hanya dengan kerudung tipis mini. Begitu saja aku sudah yakin bahwa aku sudah menjadi hamba yang baik. Pikirku saat itu, yang penting salat, puasa Ramadan, tidak jahat kepada orang, maka sudah pasti masuk surga.

Menurutku, Islam itu, ya sebatas itu. Menjalankan kewajiban, seperti salat dan puasa Ramadan, maka pintu surga sudah pasti terbuka lebar.

Dengan pemikiran seperti itulah aku menjalani kehidupan. Akan tetapi anehnya, aku tidak pernah merasakan ketenangan, padahal menurutku, hidupku itu baik-baik saja. Aku bekerja seperti biasanya, bertemu banyak orang, berinteraksi dengan banyak orang, termasuk lawan jenis. Salat tidak pernah kutinggalkan, uang selalu ada, dan anak-anak sehat.

Namun, keadaan tersebut tetap tidak memberikan ketenangan. Justru malah sering cekcok dengan suami dan berujung pertengkaran. Aku yang keras kepala dan tidak pernah mau mengalah meski salah, selalu berhasil mengendalikan keadaan. Suami sering kali mengalah dan menyudahi pertengkaran. Dia akhirnya lebih memilih diam, meski kata-kataku saat itu sering kali menyakitinya. Ah, sesabar itu dia, bahkan sampai hari ini.

Begitulah, meski dari segi materi cukup, tetapi ada saja hal yang menjadi ujian bagiku. Aku merasa hidupku lurus-lurus saja dan tidak neko-neko. Bahkan, salat kujalankan, membaca Qur’an pun rutin kulakukan, tetapi mengapa ujian selalu saja datang silih berganti?

Apalagi anak sulungku, saat itu benar-benar mengujiku. Dia agak sedikit liar dan sulit sekali diatur, padahal aku merasa telah memberikan yang terbaik sebagai seorang ibu. Saat itu aku merasa, lelahnya aku bekerja adalah demi mereka (anak-anak).

Meski waktu itu aku mampu mengendalikan anak-anak dengan menggunakan powerku sebagai seorang ibu, tidak lantas membuat mereka menjadi anak penurut, apalagi anak sulungku. Kerap kali aku berkata kasar padanya karena perangainya sering membuatku emosi.

Saat itu aku tidak berpikiran macam-macam. Aku menganggap hal itu adalah ujian biasa untuk aku sebagai orang tua. Aku tidak pernah benar-benar mencari tahu, kenapa hidupku tidak tenang, meski kesenangan hidup bisa kuciptakan dengan mudah.

Puncaknya, suamiku yang selama ini sering kali manut saja atas keputusanku, saat itu tidak lagi mau nurut. Suamiku berontak dan mulai mengatakan kebosanannya mengantar jemput anak sekolah dan menunggui rumah. Suamiku memintaku berhenti bekerja dan membiarkannya bekerja.

Awalnya aku tidak mau menerima karena aku sudah merasa nyaman dengan dunia kerjaku, meski waktuku memang banyak tersita di tempat kerja. Akibatnya, anak-anak jadi kurang perhatian sehingga si sulung menjadi sulit diatur dan kerap membuat masalah di sekolahnya.

Akhirnya, aku menjadi lebih sering bertengkar dengan suami dan kondisi rumah menjadi tidak kondusif. Saat itu, sering kali aku tidak merasa nyaman saat berada di rumah akibat pertengkaran yang terus mewarnai rumah tanggaku.

Aku pikir saat itu, dengan powerku, aku masih bisa membuat suami bungkam dan tidak memperpanjang pertengkaran. Namun, aku salah, ternyata suamiku benar-benar serius dengan keinginannya untuk bekerja dan menyuruhku berhenti bekerja. Suamiku menyuruhku di rumah saja dan mengurus kedua buah hati kami dengan baik.

Sungguh, hal tersebut sangat bertolak belakang dengan hati nurani yang menginginkan terus bekerja. Meski pada akhirnya aku mengalah dan memilih berhenti dengan beralasan ingin istirahat. Sebenarnya saat itu aku hanya ingin meredakan sejenak emosi suami agar tidak berlarut-larut menuntutku untuk berhenti bekerja. Namun, Allah Maha Tahu atas apa yang akan terjadi ke depannya.

Akhirnya dengan berat hati, kutinggalkan pekerjaan dan memilih di rumah sesuai maunya suami. Saat itu, aku merasa harus menurunkan ego agar rumah tanggaku tetap baik-baik saja. Bukan aku takut kehilangan suami ataupun takut terjadi perceraian, tetapi waktu itu, aku pun sudah merasa sedikit bosan dengan pekerjaan. Mungkin karena rutinitasku monoton, berangkat pukul 8 pagi pulang pukul 6 sore. Begitu setiap hari.

Awal-awal berhenti dari pekerjaan, rasa bosan menghinggapi. Aku yang terbiasa bekerja dan berinteraksi dengan banyak orang harus puas dengan tinggal di rumah, lingkup yang sangat kecil. Paling keluar hanya untuk mengantar anak sekolah. Apalagi saat itu aku langsung diuji dengan sakit yang lumayan lama. Badanku demam dan drop. Aku tidak bisa berkegiatan, kecuali hanya tiduran.

Suami memang mendapatkan pekerjaan, tetapi gajinya tidak seberapa. Sementara kami tinggal di rumah kontrakan saat itu. Keadaan itu benar-benar menguji kesabaran. Syukurnya, suami sangat sabar menghadapi emosiku yang meledak-ledak akibat sakit dan kurangnya materi.

Setelah badanku mulai sehat, aku memikirkan cara untuk bisa mencari uang tanpa harus meninggalkan rumah. Akhirnya, menyetrika baju aku pilih sebagai pekerjaan yang bisa membantu menambah pemasukan.

Aku bawa baju-baju langgananku ke rumah untuk disetrika dengan terlebih dahulu ditimbang. Upah per jam saat itu adalah Rp10.000. Alhamdulillah, dari pekerjaan itu aku bisa membantu suami mencari uang. Bahkan, aku juga menjual secara online barang-barang punya teman.

Aku posting di aplikasi WhatsApp dan Facebook, salah satunya adalah menjual daster punya salah seorang teman. Siapa yang pernah menyangka, jualan daster ini justru menjadi wasilah bertemunya aku dengan sahabat-sahabat salihah yang senantiasa berusaha taat.

Ya, singkat cerita, ada yang pesan daster dan minta diantar. Ia adalah langganan di grosir tempat aku bekerja dahulu. Aku tidak begitu dekat secara personal, hanya mengenalnya sebagai pelanggan saja. Namun, aku memang terbiasa menyimpan nomor-nomor para pelanggan, salah satunya uni yang satu ini, namanya Uni Yelly. Jadi, ia melihat jualanku ini. Setelah menanyakan harga, Uni Yelly memesan 1 pcs dan minta diantar ke toko kuenya.

Setelah sampai di tokonya, aku tidak langsung pulang. Kami bertukar cerita dan Uni Yelly menanyakan apa kegiatanku sekarang karena ia tahu kalau aku sudah tidak bekerja lagi. Aku sampaikan jika kini jualan online dan menerima jasa setrika.

Tiba-tiba Uni Yelly mengajak ikut kajian. Waktu itu aku tidak menolak, hanya saja aku memilih waktunya karena Sabtu dan Ahad terkadang setrikaanku banyak. Jadi, aku minta kajiannya di luar hari itu. Uni Yelly langsung menyetujui.

Aku masih sangat ingat pertemuan pertama di awal-awal mengikuti agenda kajian. Banyak hal baru yang dijelaskan Ni Yelly yang membuatku tercengang. Materi awal kajian, kalau tidak salah tentang wajibnya menuntut ilmu dan dilanjut materi akidah. Baru 2 materi ini saja, aku benar-benar syok karena ilmu agamaku tidak sampai ke situ.

Selama ini aku merasa hidupku sudah sangat baik dan yakin surga bisa kuraih. Astaghfirullah, sedangkal itu ilmu agama yang kumiliki saat itu. Apalagi saat masuk ke materi wajibnya menutup aurat, bertambah-tambahlah kekagetanku. Sebelum mengaji, aku menganggap auratku hanya rambut. Sungguh, saat itu aku merutuki diri karena kebodohan yang kupelihara.

Setelah beberapa bulan dibina, akhirnya aku makin mantap dengan jalan yang kupilih. Aku makin yakin jika berhentinya aku dari pekerjaan adalah rencana Allah karena masih menginginkan kebaikan untuk diriku.

Bergabungnya aku dalam jemaah ini makin membuatku tenang dalam menjalani kehidupan. Hidupku kian terarah, tujuan hidup makin jelas. Aku mampu mengatasi setiap persoalan hidup yang datang dengan mengembalikannya kepada hukum syarak. Aku juga jadi tahu tujuan Allah menciptakanku, bukan semata-mata untuk mengejar dunia, tetapi ada yang lebih urgen untuk dikejar, yaitu rida Allah Swt..

Bertemunya aku dengan sahabat-sahabat taat makin membuatku kuat. Ujian tidak lagi membuatku mudah goyah. Banyak sahabat salihah lainnya yang hidupnya jauh lebih susah, tetapi mereka tetap tabah, bahkan kukuh dalam jalan dakwah. Itulah yang selalu menguatkanku. Malu rasanya jika aku lemah hanya karena ujian hidup yang terlalu receh.

Aku juga baru tahu satu hal, manusia diuji sesuai level keimanannya. Ujian kita saat ini belumlah sedahsyat ujian saudara-saudara di Palestina. Itu berarti, level keimanan kita masih jauh di bawah mereka.

Payakumbuh, 9 Desember 2024 [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *