Oleh: Shunink
(Kontributor CemerlangMedia.Com)
‘Klik… Klik…’
Terdengar saklar lampu ruangan utama telah dimatikan. Hari sudah mulai larut malam, anak-anak asuh pergi menuju kamar masing-masing.
Sudah tiga hari ini, Aminatus Saliha tinggal di panti asuhan “Ar-Riyadhoh”. Aminatus Saliha, yang lebih dikenal dengan nama Ami tengah menikmati kesendiriannya sejak neneknya meninggal dunia satu minggu yang lalu.
Ami adalah anak yatim sejak berusia lima tahun. Ayahnya meninggal karena sakit jantung dan ibunya pergi keluar pulau untuk bekerja, tetapi hingga Ami berusia remaja, tidak ada komunikasi yang terjalin.
Sejak menapakan kaki di panti asuhan, Ami kerap menyendiri, sesekali juga terlihat menulis di atas buku kecil, berbentuk persegi dan berwarna biru muda bergaris pink. Entah apa yang kerap dia tulis. Sikap Ami yang demikian membuat anak asuh lainnya enggan mendekati bahkan menyapanya, sebab Ami tidak pernah membalas sapaan mereka dengan benar, justru hanya dibalas dengan lirikan tanpa senyum.
***
‘Tok… tok… tok…’ Suara pintu diketuk oleh seseorang.
“Assalamualaikum, permisi. Apakah boleh masuk?” ucap seorang gadis di luar kopel senyap tersebut.
“Wa’alaikumussalam. Ya,” jawab Ami singkat.
“Hai, Ami. Apa kabar?” Sapa Sofia dengan senyum ramahnya.
“Baik.” Sahut Ami dengan memandang heran pada Sofia.
“Aku baru tau, kalau ada anak asuh baru di panti asuhan ini. Kenalin, aku, Sofia.” Jelas Sofia pada Ami sambil mengajak berjabat tangan.
“Ami.” Balas Ami sambil menerima jabat tangan Sofia dan lagi-lagi dia menjawab dengan singkat.
“Btw, gimana rasanya tinggal di sini? Apakah kamu merasa senang, Ami?” tanya Sofia.
“Biasa aja,” jawab Ami.
“Hemm, kamu nyaman dengan kamar ini kah? Kamar ini paling kecil di sini, hanya bisa muat dua anak asuh aja,” kata Sofia.
“Ya, itu lebih baik,” cetus Ami.
“Sekiranya diizinkan, apakah boleh aku sekamar dengan mu, Ami?” pinta Sofia pada Ami.
Mendengar permintaan Sofia, seketika itu pula Ami menatap Sofia dengan tajam seolah penuh pertanyaan, “mengapa”. Ia tidak menjawab pertanyaan tersebut sedangkan Sofia hanya tersenyum melihat Ami dengan sikap dan karakter seperti itu.
“Ah, tidak berkenan, ya?” tanya Sofia lagi.
“Kenapa mau di sini?” tanya Ami penuh selidik.
“Karena, tempat tidurku rusak dan belum ada ganti. Jadi, aku disarankan oleh Ibu Hindun agar sekamar denganmu.” Jelas Sofia sambil merapikan tempat tidur yang terbuat dari kayu berukuran 100×180 cm.
“Ya, tinggal aja,” ujar Ami.
“Terima kasih, Ami. Malam ini aku mulai tidur di sini, ya. Besok baru pindahin barang-barang.” Ucap Sofia pada Ami yang sibuk merapikan buku catatan kecilnya.
“Terserah kau saja,” timpal Ami.
Suasana hening, tetapi mereka masih terjaga dari tidur.
Samar-samar Sofia mendengar isakan tangis yang seolah ditahan. Mendengar hal itu, Sofia beranjak dari posisi tidurnya dan duduk menghadap tempat tidur Ami.
“Ami, apakah kamu baik-baik saja?” tanya Sofia.
Tidak ada jawaban dari Ami dan isakan tangis itu tidak terdengar kembali. Akan tetapi, Sofia yang tiga tahun lebih tua dari Ami tak mengurungkan diri untuk mendekati teman sekamarnya tersebut.
“Ami, jika ada yang ingin kamu ceritakan, kamu bisa kok cerita sama aku. Jangan kau simpan sendiri, kita bersaudara di sini.” Tutur Sofia sambil mendekat dan memegang kaki Ami.
Kelembutan dan keramahan Sofia seolah membuat Ami merasa tidak nyaman, akhirnya Ami pun bangun dan duduk di hadapan Sofia.
“Aku benci dengan kehidupan ini, mengapa Allah menggariskan hidupku seperti ini, ayahku meninggal, ibuku pergi di saat aku masih membutuhkannya, sekarang nenekku dipanggil pula. Sehina itu aku mendapat garis hidup, harus hidup di panti asuhan dan bergantung pada pemberian orang lain. Aku benci dengan hidupku, Allah tidak adil!” cecar Ami hingga pecah tangisannya.
Sofia terpaku, terkejut dengan apa yang keluar dari lisan Ami. Dada Sofia terasa sesak mendengar hal itu, bibirnya pun gemetar, entah apa yang harus dia katakan pada Ami.
“Kamu, kamu tinggal di sini sudah lama? Apakah kamu tidak merasa seperti kumpulan pengemis yang ditampung di rumah sosial?” imbuh Ami.
“Astagfirullahal ‘adziim, Ami cukup!” pekik Sofia.
Pekikan Sofia terdengar oleh Bu Hindun yang sedang merapikan rak buku sambil memeriksa setiap kamar anak-anak asuhnya.
‘Tok… tok… tok…’ Bu Hindun mengetuk pintu, lalu masuk kamar tersebut dengan sedikit panik.
“Apa yang sedang terjadi, Nak? Ibu mendengar Sofia memekik istighfar, ada apa, Nak? Coba cerita ke Ibu.” Tutur lembut Bu Hindun lembut sambil memeluk Sofia dan mengelus kepala Ami.
Mereka bertiga duduk berhadapan, Sofia pun menceritakan tentang apa yang telah terjadi, sedangkan Ami makin tenggelam dalam isak tangisnya.
Mendengar penjelasan Sofia, Bu Hindun tersenyum dan menatap sayu pada kedua anak asuhnya tersebut.
“Ami, sayang. Allah Swt. adalah sebaik-baik Pembuat skenario kehidupan setiap hamba-Nya, Dia Maha Tahu, Maha Adil dan Maha Penyayang.” Ucap lembut Bu Hindun sambil mengelus punggung Ami dengan lembut
“Insyaallah, Ibu paham dan mengerti apa yang dirasakan oleh Ami. Apakah Ami tau jika sebenarnya Ami adalah anak saliha, kuat, dan sabar? Ibu yakin itu, mengapa demikian? Karena secara tidak langsung, Allah Swt. telah mendidik Ami dengan cara demikian,” imbuh Bu Hindun.
Dalam percakapan tersebut, Bu Hindun menceritakan sepenggal kisah Nabi Muhammad saw, di mana beliau lahir saat ayahnya terbunuh dalam perang. Lalu, ibunya meninggal saat beliau masih membutuhkan Asi, kakek yang merawatnya pun meninggal dunia saat dia masih berusia anak-anak yang polos tentang hidup.
Bu Hindun pun memaparkan tentang kisah yatim piatu di Palestina, dengan kehidupan yang belum ada kejelasan terkait perdamaian hidup, tetapi mereka masih kuat berdiri dan bertahan, hanya cukup menyandarkan hidupnya pada Allah Swt.
Mendengar hal tersebut, Ami menangis sejadi-jadinya.
“Kita masih beruntung, Ami, menjadi yatim bukanlah aib, tinggal di panti asuhan bukanlah kehinaan. Ini bentuk rahmat Allah Swt. kepada kita. Kita adalah anak-anak istimewah Ami. Apa hakmu mencela Allah Swt. yang Maha Rahman dan Rahiim. Kamu tau, aku tinggal di panti ini sejak aku masih bayi, aku bayi yang dibuang oleh orang tuaku, entah aku hasil zina atau memang tidak dikehendaki hadir dalam kehidupan mereka. Kamu tau, bagaimana rasanya menjadi anak yang tidak jelas nasabnya? Kamu tahu, bagaimana rasanya di-bully oleh anak lain karena aku sebatang kara dan tidak jelas asalnya? Kamu tau!” Amarah Sofia pecah.
Bu Hindun dengan sigap memeluk Sofia erat, anak yang delapan belas tahun lalu yang ia temukan di semak-semak belakang panti asuhan miliknya.
Seolah tertampar sangat keras, Ami tercengang dengan apa yang telah dia dengarkan.
“Astagfirullahal ’adziim… Astagfirullahal ’adziim… Astagfirullahal’adziim…” desah Ami tak terhenti, dia memukul dadanya karena terasa sesak dan sakit.
“Maafkan Ami, Bu. Maafkan Ami, Kak Sofia, maafkan Ami,” imbuh Ami.
Bu Hindun memeluk kedua anak asuhnya yang sedang terguncang karena takdir hidup masing-masing. Tak terasa, air matanya mengalir dan terasa sesak dalam dada melihat anak-anak asuh yang dia anggap sebagai anak sendiri sedang larut dalam kesedihan.
“Kuat ya, Nak. Sabar ya, Nak. Tetaplah menjadi anak-anak istimewa, jadilah hamba yang selalu tawakal ya, Nak. Percayalah bahwa Allah Swt. adalah pembuat takdir terbaik. Kita jalani sebaik mungkin, ya. Kisah hidup Rasulullah Muhammad saw. dan saudara-saudara kita di Palestina sudah cukup bagi kita untuk bisa bertahan dan menjadi hamba terbaik ya, Nak. Ingatlah bahwa Allah Swt. bersama orang-orang yang sabar.” Ucap Bu Hindun sambil memeluk dan mencium kedua anak tersebut.
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan, lalu menyempurnakan (penciptaan-Nya), yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.”(QS Al-A’la 87: Ayat 1-3).