Penulis: Hessy Elviyah, S.S.
Kontributor Tetap CemerlangMedia.Com
Dalam Islam, seluruh kebijakan publik harus tunduk kepada syariat, termasuk tata kelola haji. Oleh karenanya, kebijakan haji tidak boleh lahir dari kompromi politik, perhitungan ekonomi yang mengedepankan kepentingan kaum kapital, atau negosiasi internasional. Akan tetapi, harus lahir dari ijtihad pemimpin negara Islam.
CemerlangMedia.Com — Di tengah mahalnya biaya hidup dan kian panjangnya antrean haji di Indonesia, Presiden Prabowo Subianto berwacana untuk menekan biaya haji lebih murah lagi. Ini menjadi angin segar untuk umat Islam karena melaksanakan ibadah haji akan terasa lebih mudah jika gagasan ini betul terlaksana.
Presiden Prabowo mengatakan belum puas dengan penurunan biaya haji 4 juta di awal 2025. Penurunan yang diinginkan harus lebih murah dari Malaysia. Bahkan, presiden menggagas pengadaan Kampung Indonesia di sekitar Masjidilharam untuk menekan biaya haji.
Namun, menurut Dadi Darmadi, seorang pengamat haji dan umrah UIN Syarif Hidayatullah, membangun Kampung Indonesia di sekitar Masjidilharam memang bisa memangkas biaya haji, tetapi butuh modal besar di awal. Selain itu, Indonesia perlu lobi-lobi untuk mendapatkan izin dari pihak Tanah Suci (CNN, 06-05-2025).
Ide menurunkan biaya haji bukanlah hal yang baru. Sekilas, ide ini terdengar membela kepentingan umat Islam yang terjerat antrean panjang dan biaya tinggi untuk menunaikan ibadah haji.
Namun, di balik narasi ini, tersimpan keraguan yang mendalam karena sangat mustahil mendapatkan harga murah jika sistem kapitalisme masih menggerogoti negeri ini. Dalam paradigma kapitalisme, segala sesuatu menjadi komoditas, maka ibadah haji pun tidak luput dari bancakan kaum kapital untuk diambil sisi manfaatnya secara materi.
Komersialisasi dan Kebijakan Populis
Kampung Indonesia seolah memberikan kesan yang hangat dan akrab, tetapi ide ini tidak jelas secara tujuan strategis dan keberlanjutannya. Ide ini seolah hanya utopis yang menyenangkan karena tidak dibangun berdasarkan kelayakan yang realistis dan kajian hukum yang kuat.
Hal ini lantaran Arab Saudi memiliki aturan yang ketat dalam urusan imigrasi dan kepemilikan asing. Warga asing tidak bisa dengan mudah memiliki properti, terlebih membentuk komunitas permanen di Arab Saudi.
Tidak heran jika ide ini dianggap sebagai kebijakan populis karena menggunakan simbol agama untuk mendapatkan dukungan rakyat. Tidak benar-benar menggunakan ajaran agama sebagai kerangka untuk merumuskan dan menjalankan kebijakan.
Lebih jauh, adanya ONH berbiaya tinggi karena mengelola ibadah haji bukan sebagai kewajiban negara kepada umat, tetapi lebih kepada pelayanan agama berbayar. Dalam hal ini, jemaah haji sebagai konsumen dan berbagai aktor di dalamnya seperti swasta, perantara, bahkan negara bisa mendapatkan untung dengan menjual jasa mereka.
Inilah logika kapitalisme, layanan publik termasuk layanan keagamaan seperti haji dikelola layaknya komoditas yang diperjualbelikan. Ibadah haji menjadi ladang bisnis, mulai dari transportasi, hotel, katering, manasik haji, semua dikelola swasta yang berorientasi pada profit.
Negara hanya bertindak sebagai fasilitator, bukan pelaksana langsung yang menjamin biaya murah dan akses yang adil. Negara hanya memfasilitasi pihak penyedia jasa melalui sistem tender yang terkadang sarat praktik rente dan pelayanan yang berbelit-belit.
Dalam pelaksanaan ibadah haji ini, banyak sekali pihak yang terlibat, seperti kementerian agama, kementerian luar negeri, kementerian perhubungan, kedubes, dan lainnya sehingga koordinasi lamban. Selain itu, banyak tahapan administrasi yang meliputi pendaftaran, verifikasi, manasik, pelunasan, visa, dan sebagainya.
Pengadaan barang dan jasa sering kali terhambat regulasi teknis atau prosedur vendor yang panjang dan tidak fleksibel. Hal ini mengakibatkan pelayanan menjadi mahal dan lamban. Sering kali jemaah kebingungan karena kurangnya transparansi dan koordinasi.
Inilah watak khas sistem kapitalisme yang memungkinkan layanan publik seperti haji dikuasai oleh segelintir elite, bukan untuk melayani umat secara tulus dan efisien. Semua itu atas asas keuntungan materi. Untuk itu, mustahil menurunkan biaya ONH jika masih dalam kubangan sistem kapitalisme. Oleh karenanya, ide menurunkan ONH oleh elite politik seolah hanya sebagai strategi politik untuk menggaet kedekatan dengan umat mayoritas negeri ini.
Islam Mengurus Rakyat
Dalam Islam, segala bentuk pelayanan publik, termasuk haji wajib dikelola oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab atas dorongan akidah. Negara tidak boleh lepas tangan dan membebankan semua urusan biaya kepada individu.
Negara harus menjamin keamanan perjalanan haji, termasuk menjaga wilayah muslim dari penjajahan dan kontrol asing. Negara juga wajib menghapus hambatan struktural, seperti pengadaan visa, paspor, batas negara yang tidak ada dalam syariat Islam.
Demikian pula, negara wajib menyediakan transportasi, logistik, dan akomodasi haji tanpa menjadikannya sebagai proyek bisnis. Dengan begitu, biaya ONH menjadi lebih mudah dan murah.
Lebih jauh, haji merupakan rukun Islam yang kelima dan fardu ain bagi muslim yang mampu. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt., “Dan (diwajibkan) atas manusia untuk menyelenggarakan haji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu menempuh perjalanan ke sana.” (QS Ali Imran: 97).
Mampu dalam hal ini bukan hanya sebagai syarat pribadi, baik fisik maupun dana, melainkan juga sebagai syarat bagi negara untuk menciptakan situasi yang memungkinkan rakyatnya mampu beribadah haji. Oleh karena itu, haram mengomersialkan ibadah haji karena negara adalah pelayan umat, bukan bertindak sebagai pedagang.
Dalam Islam, seluruh kebijakan publik harus tunduk kepada syariat, termasuk tata kelola haji. Oleh karenanya, kebijakan haji tidak boleh lahir dari kompromi politik, perhitungan ekonomi yang mengedepankan kepentingan kaum kapital, atau negosiasi internasional. Akan tetapi, harus lahir dari ijtihad pemimpin negara Islam.
Khatimah
Pelayanan rakyat secara tulus hanya ada dalam sistem yang menerapkan syariat secara sempurna. Ibadah akan terasa mudah dan indah jika Islam dipakai sebagai dasar kebijakan negara. Hanya Islamlah yang akan melahirkan kebijakan yang adil untuk seluruh umat. Wallahu a’lam.