Oleh. Ummu Faiha Hasna
CemerlangMedia.Com — Pada Maret 2023 lalu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia UH mengecam pelaksanaan hukum cambuk yang terus berlangsung di Nanggroe Aceh Darussalam. Pasalnya, hukuman ini dianggap kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Alasannya karena telah melanggar hukum internasional dikarenakan Indonesia adalah negara pihak.
Lalu, seberapa penting syariat Islam diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat? Bukankah Allah memerintahkan untuk berislam secara sempurna? Bagaimana Islam memandang syariat Islam yang moderat ini?
Dikutip dari sindonews.com, 25/1/2023 lalu, wanita terpidana khalwat atau zina di Kabupaten Aceh Barat, pingsan setelah menjalani hukuman cambuk 100 kali di depan umum. Darma Mustika, selaku Kasi Pidum Kejari Aceh Barat, mengatakan pasangan ini merupakan terpidana kasus khalwat. Mereka terbukti bersalah dan melanggar Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Beberapa bulan sebelumnya, Rektor UIN Ar Raniry Prof Mujiburrahman menawarkan Islam moderat dalam menerapan syariat Islam di Aceh. Menurutnya, penerapan syariat Islam di Aceh tetap berada dalam bingkai NKRI yakni prosesi Islam moderat yang secara simpel melakukan harmonisasi manusia, alam, dan tuhan.
“Semakin harmonisnya manusia, alam, dan tuhan, masalah akan selesai dan ‘rahmatan lil’alamin’, dan sebaliknya jika tidak harmonisnya manusia, alam, dan tuhan akan terjadi malapetaka.” (antaranews.com, 6/8/2022)
Qonun adalah UU yang sah di Aceh. Sebagai peraturan daerah yang dipandang sebagai implementasi syariat Islam. Namun, pada faktanya qanun ini hanya kental dengan penerapan aturan jinayat, itu pun hanya sebagian hukum sanksi. Sementara, hukum kehidupan lainnya masih jauh dari syariat Islam.
Di antara hukum jinayat tersebut adalah hukuman cambuk untuk pelaku minuman keras (khamar), perjudian (maisir), perzinaan, dan berduaan dengan lawan jenis yang bukan pasangan atau kerabat (khalwat). Hukuman cambuk ini digunakan sebagai hukuman untuk serangkaian tindakan yang dianggap kriminal menurut peraturan daerah. Hanya saja, penerapan sebagian syariat Islam, sebagaimana yang diterapkan di Aceh ini jelas tidak dapat memberikan gambaran kemuliaan dan keadilan hukum syariat.
Alih-alih penerapan hukum ini membawa ketentraman. Justru yang terjadi malah menimbulkan kekerasan dan dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia oleh masyarakat internasional serta dinilai diskriminatif dan intoleran.
Akan tetapi, satu hal yang pasti, penerapan hukum syariat di Aceh, apalagi sebagian kecil, sejatinya tidak akan pernah sempurna dalam negara yang menerapkan sistem rusak seperti demokrasi kapitalisme saat ini. Malah akan berdampak buruk karena sistem demokrasi sejatinya adalah sebuah sistem politik yang paling compatible untuk merealisasikan sekularisme yakni memisahkan agama dari kehidupan.
Maka penilaian benar atau salah, baik atau buruk terhadap sebuah aturan masyarakat hanya akan disandarkan pada akal manusia. Menurut suara mayoritas di parlemen, melalui sistem yang rusak ketentuan syariat Islam akan ditimbang oleh akal manusia dan tidak bisa ditaati jika tidak layak. Maka, segala yang diharapkan oleh syariat dalam demokrasi bisa dianggap boleh dan kemudian dilegalkan di masyarakat. Sebagai contoh riba, khamr, dan perzinaan yang jelas-jelas haram dalam sistem demokrasi justru malah dilegalkan.
Begitu pun sebaliknya, perkara yang menurut Islam dibolehkan bahkan diwajibkan, dalam sistem demokrasi bisa menjadi terlarang. Maka, dengan asas pemisahan agama dari kehidupan ini mustahil syariat Islam dapat diterapkan dalam ranah kehidupan masyarakat dan negara.
Sejatinya, Islam adalah sistem sempurna yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak hanya mengatur spiritual ataupun ritual semata. Lebih dari itu, Islam adalah agama ideologis, karena tidak ada satupun bidang kehidupan umum yang tidak diatur oleh syariat Islam.
Syariat Islam mencakup tata cara ibadah, akhlak, makanan, minuman, pakaian, muamalat atau interaksi publik hingga politik dan kenegaraan. Oleh karena itu, setiap muslim harus menerima hukum syariat dengan landasan keimanan, penuh keyakinan bahwa hanya aturan Allah-lah yang layak diterapkan dan akan membawa kebaikan bagi umat yang ada di dunia.
Kebaikan ini akan sempurna dirasakan jika Islam diterapkan secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Bahkan, menjadi rahmat bagi seluruh alam. Karena tidaklah Allah mengutus baginda Nabi Muhammad saw. melainkan agar menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.
Allah Ta’ala berfirman, dalam surat cinta-Nya: Yaa ayyuhalladziina aamanuu aṭii’ulloha wa rosụlahụ wa laa tawallau ‘an-hu wa antum tasma’uun. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS Al-Anfal: 20)
Ayat ini memberi peringatan bahwa ketaatan itu mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Sebagai sistem hukum yang adil, maka sejatinya tata aturan Islam hanya akan terwujud ketika syariat Islam diterapkan secara sempurna. Secara nyata dalam seluruh aspek kehidupan dalam naungan sistem Islam yakni Khil4f4h bukan sistem lainnya. Oleh karena itu butuh dukungan negara sebagai pelindung dan pengayom rakyatnya.
Dengan demikian, menjalankan hukum syariat Islam tidak boleh diterapkan hanya sebagian saja. Namun, harus bersifat syamilan wa kamilan. Fakta inilah yang semestinya disadari oleh seluruh umat Islam yang ada di seluruh dunia, sehingga tata aturan kehidupan inilah yang mestinya mereka perjuangkan agar Islam betul-betul dapat dirasakan keadilan nya dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam. [CM/NA]