Konflik Agraria, Bisakah Diatasi dengan Sertifikat Elektronik?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Azizah, S.Pd.
(Pemerhati Kebijakan Publik)

CemerlangMedia.Com — Pemerintah resmi meluncurkan sertifikat tanah elektronik secara nasional pada Senin (4-12-2023). Digitalisasi itu diklaim sebagai upaya untuk menekan terjadinya kasus konflik lahan. Sekretaris Provinsi Lampung, Fahrizal Darminto mengatakan bahwa terobosan ini diharapkan dapat mengurangi konflik-konflik terkait dengan tanah (m.lampost.co, 4-12-2023). Benarkah digitalisasi sertifikat tanah bisa mengatasi kasus konflik lahan yang terjadi di negeri ini?

Maraknya Kasus Konflik Lahan

Menurut catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), sepanjang periode 2015 hingga 2022, kasus konflik lahan di Indonesia melibatkan lahan yang sangat luas, yakni sekitar 5,8 juta hektare. Untuk jumlah korban yang terdampak sangatlah banyak, yakni ada 1,7 juta keluarga.

Konflik lahan juga kerap kali diwarnai kekerasan yang berujung pada kriminalisasi, bahkan memakan korban jiwa. Masih menurut catatan KPA, dalam kasus konflik yang terjadi dalam rentang 2015 hingga 2022, ada sekitar 1.615 warga yang ditangkap, 29 warga meninggal dunia, 77 luka-luka karena tertembak senjata aparat, dan 842 orang maju ke persidangan. Sungguh menyedihkan.

Dampak Buruk dari Konflik Lahan

Bagi warga miskin yang tinggal diperkotaan, tidak punya lahan dan tempat tinggal menjadi persoalan, mereka makin tergusur dan terpinggirkan. Selain lahan, masih ada persoalan berikutnya, misalnya harus tinggal di rusunawa yang efeknya juga cukup kompleks, yakni ruang privat menjadi sempit, dst.. Dua keluarga satu dinding, membuat dinding rusun seolah mempunyai telinga dan bersuara. Begitu pula persoalan air bersih dan sampah, cukup meresahkan bagi kalangan perempuan yang bertanggung jawab dalam urusan keluarga. Sampah menggunung memunculkan rasa khawatir para ibu akan ancaman kesehatan bagi anggota keluarga.

Ditambah lagi ruang bermain anak yang kurang, menjadi ancaman bagi tumbuh kembang mereka ke depan. Batas ruang yang makin hilang membuat anak mudah menyerap berbagai pola tingkah laku di lingkungan tempat tinggal mereka. Penanaman pendidikan ideal yang dibangun oleh keluarga bisa hancur hanya dalam hitungan jam.

Mirisnya lagi adalah ancaman keamanan. Dengan penghuni dari aneka ragam latar belakang daerah, pendidikan, dan pekerjaan memungkinkan terjadinya cekcok yang bisa berujung pada tindak kriminal. Bahkan, kriminalitas dalam bentuk pelecehan seksual pun bisa terjadi.

Pendidikan juga akan terhambat akibat orang tua menjadi korban penggusuran.Ini merupakan masalah besar yang harus segera diselesaikan. Mengingat dampak jangka panjangnya adalah kehilangan generasi sebagai calon pemimpin. Anak kesulitan melanjutkan sekolah karena dana yang terbatas, biaya pendidikan yang tinggi, adaptasi lingkungan baru yang membutuhkan energi juga waktu tambahan untuk belajar dengan rasa nyaman, lokasi tinggal yang jauh dari sekolah dan sebagainya.

Akar Persoalan Konflik Lahan

Konflik lahan marak terjadi bukan semata-mata karena persoalan sertifikat tanah. Munculnya konflik lahan adalah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang melahirkan keserakahan dan kebebasan dalam kepemilikan. Alhasil, lahirlah kebijakan serampangan yang tidak melindungi hak individu rakyat sebagai pemilik yang sah. Kerja sama antara penguasa dan pengusaha dalam menyukseskan program dan proyek, semata-mata demi keuntungan materi dengan mengorbankan masyarakat kecil.

Tidak bisa dimungkiri bahwa konflik lahan yang terjadi hari ini merupakan konflik struktural. Pemicu utamanya adalah kebijakan negara yang berpihak pada kepentingan pemilik modal. Kebijakan-kebijakan seperti ini lazim terjadi karena negeri ini menganut sistem kapitalisme neoliberal yang lahir dari rahim sekularisme yang tidak kenal nilai moral dan halal haram.

Dalam sistem ini, para pemilik modal yang notabene jumlahnya kecil malah diberi ruang sangat besar untuk menguasai berbagai lini kehidupan, termasuk menguasai sebagian besar sumber daya alam. Ini juga berlaku untuk bisnis yang lain, mulai dari properti, pertambangan, energi, pertanian, perikanan dan sebagainya. Perusahaan-perusahaan besar terus melakukan akumulasi modal dengan menguasai sektor hulu hingga ke hilirnya. Sementara posisi mayoritas rakyat benar-benar sangat lemah. Mereka hanya bisa berebut remah-remah kekayaan dan hidup di bawah belas kasih para pemilik modal.

Sistem ini benar-benar mereduksi fungsi kepemimpinan negara. Negara dan penguasa dalam sistem ini justru berposisi sebagai jongos bagi para pemilik modal. Bahkan tidak jarang pula pengusaha berperan ganda sebagai penguasa. Hasilnya, kebijakan-kebijakan negara justru mewakili kepentingan para pemilik modal.

Maka wajar, ketika terjadi kasus konflik lahan, pemerintah cenderung berseberangan dengan rakyatnya. Bahkan tidak jarang pendekatan represif dilakukan hanya demi membela kepentingan para pemilik modal. Ujung kasus konflik lahan bisa dipastikan, pengusahalah yang menang, sedangkan rakyat hanya bisa bermimpi mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Mereka bahkan harus siap-siap kehilangan lahannya.

Solusi Islam Seperti Apa?

Syariat Islam mengizinkan individu baik muslim ataupun kafir untuk memiliki lahan. Baik untuk keperluan tempat tinggal, usaha, atau pertanian. Kepemilikan lahan dalam syariat tidak ditentukan oleh surat kepemilikan tanah, tetapi dengan cara menghidupkan, seperti mematoknya atau mengelola lahan yang memang tidak ada pemiliknya.

Syariat Islam juga menetapkan ambang batas penelantaran lahan, yakni tiga tahun. Bila lahan yang telah dimiliki itu tidak dikelola atau ditelantarkan selama tiga tahun, maka negara akan menyita lahan tersebut dan memberikannya kepada individu yang sanggup mengelolanya.

Dalam Islam, negara tidak berhak merampas tanah milik warga muslim maupun kafir sekalipun mereka tidak memiliki surat kepemilikan lahan. Selama ia bisa membuktikan bahwa tanah itu telah dipatok atau dikelolanya, serta tidak ditelantarkan lebih dari tiga tahun, maka perampasan terhadap tanah rakyat walaupun atas nama pembangunan, apalagi untuk diberikan kepada investor, adalah kezaliman dan termasuk dosa besar.

Apabila memang tanah warga itu dibutuhkan untuk kepentingan negara dan publik untuk kepentingan mendesak, maka negara wajib memberikan ganti, baik dengan membeli tanah dan seluruh bangunan atau tanaman yang ada padanya dengan harga yang layak atau melakukan tukar guling dengan tanah yang sepadan dan keridaan pemiliknya. Haram hukumnya negara memaksa warga menjual tanahnya apalagi dengan harga yang murah. Maka, sudah saatnya bangsa ini mengambil solusi konflik lahan ini dari aturan Islam. Sudah saatnya kapitalisme yang penuh kezaliman ini kita tinggalkan. [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *