Oleh. Novianti
CemerlangMedia.Com — Berita mengejutkan datang dari Sukabumi. Seorang bocah kelas 2 SD meninggal setelah dikeroyok oleh dua kakak kelasnya. Diberitakan kompas.com (20/05/2023), hasil visum menunjukkan terdapat luka pecah pembuluh darah, retak pada dada dan tulang punggung.
Berita ini menambah deretan angka pelaku dan korban kekerasan yang sama-sama masih masih di bawah umur. Di usia yang seharusnya anak sedang menikmati keriangan bermain dengan teman-teman dan belajar.
Peristiwa kekerasan oleh anak memang makin marak, berulang setiap tahun, terjadi di beberapa tempat dengan tingkat kekerasan yang semakin sadis.
Faktor Penyebab
Secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku agresif seorang anak. Pertama faktor keluarga dan ke dua faktor lingkungan.
Pola pengasuhan yang kerap diwarnai kekerasan baik fisik maupun verbal akan diduplikasi oleh anak. Pada dasarnya, anak belum mengetahui cara menyelesaikan masalah dan konflik. Pukulan atau cubitan diiringi bahasa verbal yang kasar dari orang tua sebagai hukuman atas perilaku anak bisa ditiru. Anak akan melakukan hal yang sama kepada orang lain ketika ada masalah atau konflik.
Faktor eksternal mulai dari lingkungan seperti teman termasuk tayangan di TV. Perkembangan alat gadget makin memudahkan anak mengakses konten yang mengandung kekerasan. Banyak kekerasan yang dibalut dalam kemasan hiburan.
Paparan kekerasan dari rumah dan lingkungan inilah yang mempengaruhi pola pikir. Anak menganggap semua itu sebagai hal biasa dan wajar. Ditambah orang tua dan guru kurang memberikan perhatian pada perkembangan emosi sehingga anak tidak terampil mengelola emosi dan menyelesaikan konflik.
Perkembangan Emosi dan Penyelesaian Konflik
Di usia awal, anak menunjukkan emosinya misal saat marah, sedih atau kecewa dengan jelas. Ketika kemampuan bahasa masih terbatas yaitu di 0-2 tahun, emosi diungkapkan dengan wajah atau gestur tubuh yang mudah dikenali. Mengenalkan jenis-jenis emosi sejak dini penting agar anak mampu mengidentifikasi emosi yang dirasakan dan mengetahui penyebabnya.
Umumnya emosi negatif seperti marah, sedih tatkala diekspresikan dengan cara tantrum kurang diterima lingkungan. Anak sudah bisa bicara namun kosa kata masih terbatas untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Wajar anak menyelesaikan masalah menggunakan fisik. Perilaku anak tidak boleh disikapi dengan negatif seperti melabeling dengan sebutan nakal atau jahat.
Orang dewasa bisa membimbing. Misalnya, ”Adek mau pinjam mainan?” Contohkan bagaimana cara meminjam dengan baik, ”Boleh aku pinjam?” Ajarkan tentang konsep pinjam atau bermain bergantian termasuk mengucapkan terima kasih. Jika hal ini terus menerus dilakukan, anak semakin paham dan terampil mengeksrepsikan emosi melalui cara yang bisa diterima oleh lingkungan. Tahapan penyelesaian konfliknya naik ke tahapan berikutnya yaitu menggunakan bahasa.
Problem Sistemik
Pengasuhan orang tua dapat mencegah tindak kekerasan oleh anak. Bimbingan dan stimulasi yang tepat akan mendukung tahapan perkembangan emosi anak dan keterampilan sosialnya. Meski demikian, kualitas pengasuhan orang tua sangat membutuhkan dukungan negara.
Maraknya kasus kekerasan oleh anak yang terjadi di beberapa daerah dengan tingkat kekerasan yang semakin memprihatinkan menunjukkan adanya problem sistemik. Ini bagian dari masalah sosial di mana faktor penyebabnya tidak tunggal. Dengan demikian penyelesaiannya pun harus terintegrasi dan hanya negara yang bisa melakukannya.
Kurikulum di sekolah terutama pada tingkat pendidikan anak usia dini dan dasar tidak menitikberatkan pada perkembangan kognitif. Anak masih membutuhkan bimbingan dan pendampingan. Di sekolah, anak berada dalam lingkungan makin beragam sehingga potensi konflik semakin besar.
Peranan Negara
Negara memberikan gaji layak kepada guru baik di sekolah negeri maupun swasta. Sekolah tidak harus memikirkan mencari murid sebanyak-banyaknya untuk menutupi operasional karena sudah ditanggung oleh negara. Guru mendidik siswa dengan kondisi jumlah anak ideal bagi proses pendidikan yang baik.
Begitu pula dengan kurikulum yang dibangun di atas pondasi akidah Islam. Anak dipahamkan bahwa antara sesama muslim itu bersaudara. Mereka harus menjaga lisan dan perbuatan agar tidak menyakiti teman. Mereka dimotivasi untuk saling berkasih sayang, mendahulukan kepentingan orang lain, saling tolong menolong. Ketika akidah Islam menjadi landasan kurikulum, karakter anak terbentuk dan kokoh karena niatnya semata-mata untuk mencari rida Allah.
Sementara itu, wilayah publik disterilkan dari konten-konten kekerasan termasuk di dunia maya. Kebijakan terkait tayangan hiburan diberi batasan jelas dan tegas. Standar boleh dan tidak berdasar pada dalil-dalil syarak. Allah yang paling tahu apa yang baik dan buruk bagi manusia.
Sedangkan keluarga menjadi pilar penopang negara. Oleh karenanya, sistem pendidikan juga menyiapkan laki-laki dan perempuan agar dapat menjalankan perannya saat sudah berkeluarga. Sebagaimana pada zaman kekhilafahan Ustmani dibuka sekolah khusus perempuan. Mereka dibekali pengetahuan dan berbagai keterampilan untuk menjadi seorang istri dan ibu.
Persoalan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari persoalan kekerasan oleh anak. Banyak anak menjadi pelaku kejahatan berasal dari keluarga yang kedua orang tuanya terpaksa harus bekerja. Dalam kehidupan yang semakin sulit, ayah menghabiskan waktu untuk mencari nafkah dan istri ikut membantu menopang ekonomi keluarga. Anak terabaikan sehingga lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan.
Kondisi tersebut tidak akan terjadi seandainya negara menyediakan kebutuhan dasar dengan harga terjangkau. Kebutuhan kolektif seperti pendidikan serta kesehatan dijamin negara. Seorang ayah tidak terlalu berat bebannya sehingga memiliki waktu untuk mendidik keluarga. Para ibu bisa fokus menjalankan peran pengasuhannya. Negara menggunakan seluruh potensi kekayaan seperti sumber daya alam bagi kesejahteraan rakyat.
Namun, realitas ini tidak bisa terwujud karena kemampuan negara sekarang terbatas. Salah satunya disebabkan sumber daya alam seperti minyak, gas, aneka barang tambang, hutan diserahkan kepada sekelompok orang atau swasta. Pemasukan lebih banyak tergantung pada pajak. Tata kelola negara semacam ini akibat penerapan kapitalisme.
Dengan demikian, penyelesaian kekerasan oleh dan pada anak hanya akan bisa diselesaikan tuntas ketika sistemnya diganti. Sistem alternatif satu-satunya yang telah memiliki konsep lengkap hanyalah sistem Islam yang bersumber dari Al-Qur’an. Jika ingin menciptakan negara yang memberikan rasa aman, keadilan dan kesejahteraan, maka terapkanlah sistem Islam secara kafah.
Allah menegaskan bahwa Islam adalah agama sempurna sebagaimana dalam surah Al Maidah ayat 3. Tidak ada pilihan lain, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, seharusnya pergantian sistem disegerakan untuk menyelamatkan masa depan anak-anak kita. Tidak hanya keselamatan di dunia yang akan didapat tetapi juga keselamatan di akhirat. [CM/NA]