Header_Cemerlang_Media

Utang Membengkak, Negara Masih Aman?

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat !

Facebook
Twitter
Telegram
Pinterest
WhatsApp

Oleh: Purwanti
(Kontributor CemerlangMedia.Com)

CemerlangMedia.Com — Nilai total utang pemerintah Indonesia per November 2023 mencapai Rp8.041,01 triliun. Posisi utang tersebut masih di ambang batas aman, yakni 60% PDB sebagaimana yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto dan Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Sumanto mengatakan bahwa utang Indonesia aman dan lebih baik ketimbang negara berkembang lainnya, yaitu masih di bawah 40% (Borneonews.co.id, 04-01-2024).

Jumlah utang pemerintah yang cenderung meningkat tentunya akan membebani APBN. Hal tersebut akan mengakibatkan lonjakan pembayaran cicilan pokok utang dan bunga setiap tahunnya. Lantas, masih amankah posisi Indonesia dengan utang sebesar itu? Apakah kedaulatan negeri ini akan tergadaikan?

Warisan Utang Indonesia

Kemerdekaan Indonesia yang diraih pada 1945, nyatanya tak memerdekakan negeri ini dari utang. Sejak awal kemerdekaan, negeri ini sudah menanggung utang yang ditinggalkan oleh pemerintahan Hindia Belanda yang dijadikan sebagai syarat pengakuan kedaulatan Indonesia. Utang tersebut sebagai ganti rugi atas dana yang telah dikeluarkan oleh Belanda selama agresi fisik selama 4 tahun (1945—1949) dan merupakan salah satu kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar yang diadakan di Den Hag (Sindonews.com, 26-04-2022).

Utang pemerintah Indonesia terus bertambah dari masa ke masa. Padahal, sudah tujuh kali pergantian rezim, tetapi mirisnya, utang tersebut seperti lilitan ular kepada mangsanya, yakni makin kuat dan tak mungkin bisa lepas. Bahkan di masa kepemimpinan Soeharto, utang Indonesia meningkat drastis dengan dalih untuk pertumbuhan ekonomi, mulai dari pembangunan infrastruktur, pabrik, industri, dan lain-lain.

Sepeninggal kepemimpinan Soeharto, utang Indonesia mendekati satu triliun rupiah di masa BJ. Habibie. Meskipun utang Indonesia sempat mengalami penurunan di masa kepemimpinan Gus Dur dan Megawati, tetapi kembali meningkat di akhir masa kepemimpinan SBY dan terus membengkak dua kali lipat sepanjang kepemimpinan Jokowi hingga menembus Rp8.000 triliun.

Dampak Utang bagi Kedaulatan

Dalam sistem kapitalisme liberal, utang negara untuk biaya pembangunan merupakan satu hal yang wajar dan salah satu pemasukan utama negara setelah pajak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaturan ekonomi yang keliru. Padahal, Indonesia memiliki sumber daya alam berlimpah yang bisa menjadi pemasukan negara. Akan tetapi, sayangnya, sumber daya alam tersebut diprivatisasi untuk para pemilik modal asing.

Padahal, utang luar negeri bukan sekadar pinjam meminjam biasa antar negara. Hal tersebut memiliki konsekuensi besar terutama bagi negara pengutang (debitur). Negara pemberi utang memiliki dominasi yang kuat terhadap negara yang berutang. Mereka akan menekan suatu negeri agar bisa dijadikan alat membela kepentingan negara adidaya dan kepentingan global.

Ekonom senior Faisal Basri mengatakan bahwa risiko utang yang makin membengkak adalah ancaman bagi kedaulatan Indonesia. Hal tersebut senada dengan yang disampaikan Abdurrahman Al Maliki dalam bukunya yang berjudul ‘Politik Ekonomi Islam’ dalam bab utang luar negeri bahwa bahaya utang luar negeri dapat menghilangkan kedaulatan suatu negeri. Hal tersebut terjadi dikarenakan utang luar negeri memiliki bahaya jangka pendek dan jangka panjang.

Bahaya yang mengintai negara debitur dalam jangka waktu dekat adalah mata uang domestik jatuh yang mengakibatkan kekacauan ekonomi dan kerusuhan sosial dalam negeri. Hal tersebut terjadi dikarenakan negara tidak mampu membayar utang luar negeri saat jatuh jatuh tempo, maka negara debitur harus membayar dengan mata uang negara pengutang, yakni dolar AS. Sedangkan mata uang dolar AS termasuk dalam hard currency.

Sedangkan bahaya jangka panjang adalah menimbulkan kekacauan pada struktur APBN dan merusak kedaulatah negara. Negara debitur harus menjual komoditi berharganya dengan harga murah. Aset-aset berharga negara lainnya pun akan tergadaikan demi melunasi utang. Dengan begitu, kebijakan umum bisa ditekan negara kreditur, seperti yang dilakukan Cina di Sri Lanka.

Dengan demikian, jelaslah bahwa utang dijadikan jebakan yang dapat mengancam kedaulatan negara debitur. Penyataan yang menyatakan bahwa utang negeri ini masih aman dan terkendali merupakan rayuan yang membuaikan. Apalagi menjadikan utang luar negeri sebagai salah satu pemasukan negara, membuktikan bahwa ada salah kelola sumber daya alam yang berlimpah. Padahal, pengelolaan sumber daya alam yang tepat bisa menjadi sumber pemasukan negara dalam jumlah yang sangat besar.

Kacamata Islam

Islam sebagai sebuah agama yang paripurna memiliki aturan membangun ekonomi yang sehat dan syar’i bagi sebuah negara. Islam mempunyai aturan yang jelas terkait utang negara. Negara sejatinya tidak perlu berutang kecuali untuk hal-hal yang darurat dan jika ditunda akan terjadi kerusakan dan kebinasaan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang bisa ditunda, maka menunggu sampai negara memiliki harta. Negara juga berupaya mengatasi krisis dengan menarik pajak hanya kepada orang-orang kaya.

Sistem Islam yang diterapkan dalam bingkai negara Islam akan fokus untuk menyejahterakan rakyatnya, baik kaya ataupun miskin. Negara akan menjamin tidak ada satu pun rakyatnya yang tidak makan walau sehari saja. Oleh karena itu, di dalam negara Islam, indikator kesejahteraan adalah dengan terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warga negara dalam kadar yang cukup. Negara memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan prinsip kemandirian bukan berutang.

Kesederhanaan anggaran merupakan hal yang dilakukan oleh negara dengan mengalokasikan kebutuhan didasarkan pada prioritas kebutuhan yang wajib, darurat, dan penting. Hal tersebut didukung dengan sistem keuangan negara yang berbasis baitulmal.

Baitulmal adalah sistem penerimaan dan pengelolaan keuangan negara yang memicu produktivitas. Di dalam baitulmal ada tiga pos pendapatan yang bersifat baku, yaitu pos zakat, pos kepemilikan umum, dan pos kepemilikan negara. Masing-masing pos tersebut memiliki pemasukan tetap seperti fa’i, kharaj, 1/5 dari harta rikaaz, dan zakat. Islam juga menetapkan pos-pos pengeluaran, tatacara pengeluarannya, dan pos-pos apa saja yang diberi anggaran jika ada kecukupan harta.

Harta baitulmal akan selalu mengalir karena didapat dari sektor produktif berbagai sumber dan sistem anti ribawi sehingga tidak akan membebani negara dengan jeratan utang. Selain itu, rakyat juga tidak akan terbebani karena negara tidak menetapkan pungutan pajak dari berbagai sektor. Dengan demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan menutup potensi kebutuhan anggaran dari utang.

Kesimpulan

Demikianlah, kedaulatan negara akan tergadai, jika negara masih bergantung pada utang luar negeri. Keuangan negara berkembang tidak akan terbantu dengan utang, melainkan makin jatuh terpuruk sebagaimana yang terjadi pada Zimbabwe dan Sri Lanka. Lantas, apakah kita akan tetap merasa aman dengan utang yang makin membengkak? Wallahu a’lam bisshawwab [CM/NA]

Loading

Disclaimer: Www.CemerlangMedia.Com adalah media independent yang bertujuan menampung karya para penulis untuk ditayangkan setelah diseleksi. CemerlangMedia.Com. tidak bertanggung jawab atas akibat langsung ataupun tidak langsung dari semua teks, gambar, dan segala bentuk grafis atau konten yang disampaikan pembaca atau pengguna di berbagai rubrik yang tersedia di web ini, karena merupakan tanggung jawab penulis atau pengirim tulisan. Tulisan yang dikirim ke CemerlangMedia.Com tidak boleh berbau pornografi, pornoaksi, hoaks, hujatan, ujaran kebencian, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email  : cemerlangmedia13@gmail.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tulisan Terbaru

Badan Wakaf Al Qur'an